Judul: "Suara yang Tertinggal"
Chapter 1 — Hari Tanpa Dialog
Tak ada yang benar-benar mengenalnya.
Bahkan orang-orang yang melewatinya setiap hari di halte bus, atau yang duduk bersisian dengannya saat makan siang di kantin kantor, hanya tahu bahwa namanya Arvin dan dia tidak bicara banyak. Atau malah, nyaris tidak pernah bicara sama sekali.
Dia datang tepat waktu. Dia mengangguk jika dipanggil. Dia mengerjakan tugas tanpa pernah bertanya. Tidak pernah protes. Tidak pernah mengeluh.
Tapi juga, tidak pernah benar-benar hadir.
Hari itu, hujan turun seperti biasa—datar dan malas. Arvin duduk di dalam bus kota dengan wajah menghadap jendela yang dipenuhi titik-titik air. Di tangannya ada buku catatan yang selalu ia bawa, tapi tak banyak yang tahu, bukunya hampir penuh. Isinya bukan to-do list atau laporan kerja, tapi... dialog.
Dialog yang tidak pernah ia ucapkan.
"Maaf, aku sebenarnya ingin bilang bahwa desainmu kemarin sangat bagus."
"Apakah kamu juga sering merasa kesepian di ruangan penuh orang?"
"Bisakah kamu ajarkan caranya bicara... tanpa gemetar?"
Tiga kalimat itu ditulis pada halaman terakhir. Ia menatapnya sejenak, lalu menutup bukunya pelan. Di sisi kanan bus, pantulan wajahnya tampak di kaca: kurus, mata sayu, rambut sedikit acak. Seseorang yang bahkan tidak akan dikenali jika hilang selama seminggu.
Setibanya di kantor, seperti biasa, tak ada yang menyapanya. Semua sibuk dengan layar, obrolan, dan notifikasi. Di dunia itu, orang seperti Arvin tidak punya tempat.
Hingga saat makan siang, saat semua orang pergi dan ruang kerja sunyi, ia membuka laptopnya dan menemukan satu pesan misterius.
Dari: unknown@rekammasa.ai
Subjek: Apakah Kau Yakin Ini Waktu yang Kau Inginkan?"Arvin, jika kau bisa kembali, apa yang akan kau ubah?
Klik link ini hanya jika kau benar-benar ingin bicara.
Waktu tidak suka orang yang ragu."
Ia tidak pernah merasa percaya pada hal aneh. Tapi hari itu, entah kenapa, tangannya bergerak sendiri. Mungkin karena ia sudah terlalu lelah menjadi penonton dalam hidupnya sendiri.
Ia klik.
Layar menjadi putih. Bening. Sunyi. Lalu tiba-tiba, seperti gema yang pecah di telinga...
"Arvin..."
Suara itu—sangat familiar. Suara ibunya. Lembut. Penuh rindu. Tapi ia sudah lama tak mendengarnya. Lebih dari sepuluh tahun. Karena ibu meninggal ketika ia masih SMA.
Layar laptop meledak menjadi kilatan cahaya dan...
Ia terbangun.
Bukan di kantornya. Bukan di kamarnya.
Ia berada di dalam kelas. Seragam SMA menempel di tubuhnya. Di luar jendela, lonceng sekolah berdentang nyaring. Teman-teman sekelas masih muda, bersuara riuh. Dan di papan tulis tertulis tanggal yang membuat jantungnya membeku:
"Senin, 11 Maret 2013."
(Akhir Chapter 1)
Next: Chapter 2 – Tanggal yang Tak Pernah Terlupakan
Kelanjutannya dapat dilihat di: https://chatgpt.com/share/684fbd34-13c8-800b-9250-db3f9181db4d
Tidak ada komentar:
Posting Komentar