Rabu, 31 Desember 2025

Petualangan Akira dan Kenzo: Rahasia Hutan Angin

Pagi itu, matahari bersinar cerah di halaman rumah Akira dan Kenzo. Burung-burung berkicau, dan angin berembus pelan membawa aroma rumput basah. Namun, suasana damai itu tidak berlangsung lama.


“Aku duluan!” teriak Akira, anak laki-laki berusia sembilan tahun, sambil berlari menuju sepeda birunya.


“Tidak bisa! Itu sepedaku hari ini!” balas Kenzo, adiknya yang berusia enam tahun, dengan wajah cemberut dan tangan menyilang di dada.


“Sepedamu yang kecil itu di sana,” kata Akira sambil menunjuk sepeda merah yang rodanya masih memakai roda bantu.


“Aku sudah besar!” Kenzo menendang kerikil kecil di tanah. Tok! Tok!


Ibu yang sedang menyiram tanaman menoleh dan tersenyum tipis. “Kalian berdua, berhenti bertengkar. Kalau terus ribut, nanti ibu suruh bereskan loteng.”


Akira dan Kenzo saling pandang. Loteng rumah mereka terkenal berdebu dan penuh barang lama. Tidak ada yang ingin ke sana.


“Baik, Bu,” jawab mereka hampir bersamaan.


Beberapa saat kemudian, karena bosan dan masih kesal satu sama lain, Akira punya ide. “Kenzo, daripada kita diam saja, bagaimana kalau… kita ke loteng?”


Kenzo membelalakkan mata. “Ke loteng? Bukannya itu menakutkan?”


“Justru seru,” kata Akira sambil tersenyum percaya diri. “Siapa tahu ada harta karun.”


Kenzo berpikir sejenak. Kata harta karun terdengar sangat menarik. Ia pun mengangguk pelan. “Baiklah. Tapi kamu duluan.”


Mereka menaiki tangga kayu menuju loteng. Kriet… kriet… suara tangga berbunyi setiap kali diinjak. Debu beterbangan ketika Akira membuka pintu kecil di atas.


“Wah, gelap sekali,” gumam Kenzo sambil memegang baju kakaknya.


Akira menyalakan senter. Cahaya kecil itu menyingkap tumpukan kardus, koper tua, dan lemari kayu yang catnya sudah mengelupas.


“Ayo cari sesuatu,” kata Akira.


Kenzo mengangguk, lalu tanpa sengaja menyenggol sebuah kotak kayu kecil. Bruk! Kotak itu jatuh dan terbuka. Di dalamnya ada selembar kertas tua yang terlipat rapi.


“Apa itu?” tanya Kenzo penasaran.


Akira mengambil kertas itu dengan hati-hati. “Seperti… peta.”


Mereka membentangkan kertas tersebut. Di sana tergambar gambar hutan, sungai kecil, dan sebuah tanda berbentuk bintang. Di pojoknya tertulis dengan huruf rapi:

Hutan Angin.”


“Hutan Angin itu di mana?” tanya Kenzo.


Akira mengingat-ingat. “Sepertinya dekat desa kita. Kakek pernah bercerita tentang hutan itu.”


Tiba-tiba, angin bertiup dari jendela kecil loteng, membuat peta itu berkibar pelan. Kenzo merinding.


“Akira… bagaimana kalau peta ini benar?” bisiknya.


Akira tersenyum, matanya berbinar. “Kalau benar, berarti ada petualangan menunggu kita.”


“Tapi… kalau berbahaya?”


“Kita bisa melakukannya bersama,” jawab Akira yakin.


Kenzo menatap kakaknya. Ia masih sering bertengkar dengan Akira, tetapi kali ini ia merasa sedikit berani. “Baik. Tapi kalau aku takut, kamu harus melindungiku.”


Akira mengangguk. “Setuju.”


Pagi berikutnya, Akira dan Kenzo bangun lebih awal dari biasanya. Matahari baru saja muncul, dan cahaya lembutnya masuk melalui jendela kamar mereka. Di bawah bantal Akira, peta Hutan Angin tersimpan rapi.


“Kenzo, bangun,” bisik Akira sambil menggoyang bahu adiknya.


Kenzo mengucek mata. “Masih pagi sekali…”


“Petualangan tidak menunggu orang yang malas,” jawab Akira dengan nada serius, menirukan gaya pahlawan dalam buku cerita.


Kenzo langsung duduk. “Benar! Aku siap!”


Mereka mengenakan pakaian yang nyaman. Akira membawa tas kecil berisi botol minum, roti, dan senter. Kenzo membawa topi favoritnya, meski topi itu kebesaran dan sering menutup matanya.


Setelah berpamitan kepada ibu dengan alasan ingin bermain di dekat rumah, mereka berjalan menyusuri jalan setapak di belakang desa. Jalan itu jarang dilewati orang. Rumput liar tumbuh di kanan kiri, dan pepohonan mulai tampak semakin rapat.


“Akira, kita sudah jauh belum?” tanya Kenzo sambil terengah-engah.


“Baru sedikit,” jawab Akira. “Lihat peta ini. Kita harus mengikuti aliran sungai kecil.”


Tak lama kemudian, mereka mendengar suara gemericik air. Sebuah sungai jernih mengalir pelan di depan mereka. Di atas batu besar, ada tanda yang sama seperti di peta.


“Itu tandanya!” seru Kenzo gembira.


Namun kegembiraan itu tidak bertahan lama. Untuk menyeberang, mereka harus melewati batang kayu yang sempit.


“Aku duluan,” kata Akira.


“Tidak! Aku juga mau duluan!” Kenzo maju ke depan.


“Kamu bisa jatuh!”


“Aku bisa!” Kenzo membalas sambil menginjak batang kayu itu.


Plup!


Kenzo hampir terpeleset. Akira cepat-cepat menarik tangannya.


“Kenzo! Sudah kubilang,” kata Akira dengan suara sedikit tinggi.


Kenzo menunduk. “Maaf…”


Akira menarik napas dan mengusap kepala adiknya. “Tidak apa-apa. Kita harus saling membantu.”


Mereka pun menyeberang dengan hati-hati, kali ini bersama-sama. Setelah itu, suasana berubah. Udara terasa lebih sejuk, dan angin berdesir lembut di antara pepohonan.


“Inikah Hutan Angin?” tanya Kenzo pelan.


Akira mengangguk. “Sepertinya iya.”


Daun-daun bergoyang meski tidak ada angin kencang. Bunyi whoosh terdengar seperti bisikan. Kenzo merapat ke sisi Akira.


“Aku tidak suka suara itu…”


“Tenang. Kita tetap bersama,” jawab Akira, meski sebenarnya ia juga merasa sedikit gugup.


Mereka melangkah lebih dalam hingga menemukan sebuah papan kayu tua bertuliskan:

“Siapa yang masuk harus berani dan jujur.”


Kenzo membaca pelan. “Berani dan jujur… maksudnya apa?”


Sebelum Akira sempat menjawab, angin bertiup lebih kencang. Daun-daun berputar di udara, dan tiba-tiba… peta di tangan Akira bersinar lembut.


“Akira…” bisik Kenzo.


“Sepertinya… petualangan kita benar-benar dimulai,” jawab Akira sambil menggenggam peta itu erat.


Di depan mereka, jalan bercabang dua. Satu tampak terang, satu lagi gelap dan penuh semak.


Kenzo menelan ludah. “Kita pilih yang mana?”


Akira menarik napas dalam-dalam sambil menatap dua jalan di hadapannya. Jalan yang terang terlihat aman, dengan tanah rata dan sinar matahari yang menembus pepohonan. Jalan yang gelap dipenuhi semak dan bayangan, seolah menyimpan banyak rahasia.


“Kita lewat yang terang saja,” kata Kenzo cepat. “Yang itu kelihatan menakutkan.”


Akira ragu sejenak. Ia membuka kembali peta tua itu. Anehnya, tanda bintang di peta justru mengarah ke jalan yang gelap.


“Kenzo,” kata Akira pelan, “peta ini menunjukkan jalan yang gelap.”


Kenzo membelalakkan mata. “Hah? Tapi aku takut…”


Akira berjongkok agar sejajar dengan adiknya. “Aku juga sedikit takut. Tapi kita kan bersama. Kalau kita ingin tahu rahasianya, kita harus berani.”


Kenzo terdiam. Angin berbisik pelan di antara daun-daun, seolah ikut mendengarkan. Akhirnya, Kenzo mengangguk kecil. “Baik… tapi kamu jangan meninggalkanku.”


“Tidak akan,” jawab Akira mantap.


Mereka pun melangkah ke jalan gelap. Semak-semak menyentuh kaki mereka, dan suara angin terdengar seperti bisikan pelan. Whoosh… whoosh…


“Apa hutan ini bisa bicara?” bisik Kenzo.


Akira hampir tertawa, tapi menahannya. “Mungkin itu hanya angin.”


Namun tiba-tiba, mereka mendengar suara krek! dari belakang. Kenzo menjerit kecil dan bersembunyi di balik Akira.


“Itu pasti monster!” katanya panik.


Akira menoleh cepat. Dari balik semak, muncul seekor rusa kecil. Matanya besar dan tampak terkejut.


“Oh… cuma rusa,” kata Akira lega.


Kenzo menghela napas panjang. “Aku kira… ah sudahlah.”


Mereka melanjutkan perjalanan hingga sampai di sebuah lapangan kecil. Di tengahnya berdiri batu besar berbentuk lingkaran. Di atas batu itu terukir tulisan:


“Keberanian bukan berarti tidak takut,

tetapi tetap melangkah meski takut.”


Kenzo membaca tulisan itu dengan suara lirih. “Berarti… aku berani juga ya, Kak?”


Akira tersenyum. “Iya. Kamu sangat berani.”


Tiba-tiba, angin bertiup lebih kencang. Daun-daun berputar mengelilingi batu. Dari tengah pusaran angin, terdengar suara lembut.


“Kalian telah memilih dengan hati yang jujur.”


Kenzo memegang tangan Akira erat-erat. “Akira… ada yang bicara!”


“Tenang,” jawab Akira, meski jantungnya berdebar. “Kita dengarkan.”


“Namun perjalanan belum selesai,” lanjut suara itu. “Kalian harus belajar satu hal lagi: bekerja sama.”


Angin berhenti. Di hadapan mereka muncul jalan sempit yang harus dilalui bersama. Di kiri kanan terdapat parit kecil berisi air.


“Kita tidak bisa lewat sendirian,” kata Kenzo.


Akira mengangguk. “Kita harus saling membantu.”


Mereka berjalan perlahan, saling berpegangan tangan. Beberapa kali Kenzo hampir terpeleset, dan Akira segera menahannya. Saat Akira kehilangan keseimbangan, Kenzo justru yang menariknya.


“Aku kuat juga, kan?” kata Kenzo dengan bangga.


“Iya,” jawab Akira sambil tertawa kecil. “Ternyata kamu bisa menolongku.”


Akhirnya, mereka sampai di ujung jalan. Di sana, peta kembali bersinar lebih terang dari sebelumnya. Tanda bintang kini tampak sangat dekat.


Kenzo menatap ke depan dengan mata berbinar. “Kak… sepertinya tujuan kita sudah dekat.”


Akira mengangguk. “Satu langkah lagi.”


Akira dan Kenzo melangkah perlahan mengikuti cahaya dari peta. Cahaya itu membawa mereka ke sebuah tempat yang sangat tenang. Pepohonan di sekeliling tampak lebih tinggi dan rapi, seolah menjaga sesuatu yang berharga. Angin berembus lembut, tidak lagi berbisik, melainkan terasa seperti menyapa.


Di tengah tempat itu berdiri sebuah pohon besar dengan batang kokoh dan daun yang selalu bergerak pelan, meski udara tampak diam. Akar-akarnya menjalar seperti tangan yang kuat namun ramah.


“Ini pasti tempatnya,” kata Akira pelan.


Kenzo mengangguk. “Pohon itu… seperti hidup.”


Mereka mendekat. Di batang pohon, terdapat ukiran berbentuk bintang—sama persis dengan tanda di peta. Di bawahnya tertulis:


“Harta terbesar bukanlah yang dapat disimpan,

melainkan yang dapat dijaga bersama.”


Kenzo mengernyitkan dahi. “Di mana hartanya, Kak? Tidak ada emas.”


Akira juga bingung. Ia menoleh ke sekeliling. Tidak ada peti, tidak ada benda berkilau. Hanya pohon besar, angin, dan keheningan.


Tiba-tiba, angin berhembus lebih kuat, namun terasa hangat. Suara lembut yang pernah mereka dengar kembali terdengar.


“Kalian telah sampai,” kata suara itu. “Apakah kalian tahu mengapa Hutan Angin memilih kalian?”


Kenzo menelan ludah. “Karena… kami berani?”


“Dan karena kalian belajar bekerja sama,” tambah Akira.


Suara itu terdengar seperti tersenyum. “Benar. Namun ada satu hal lagi.”


Angin berputar lembut mengelilingi mereka. Kenzo tanpa sadar memegang tangan Akira. Untuk pertama kalinya hari itu, mereka tidak bertengkar sama sekali.


“Kalian sering bertengkar,” lanjut suara itu, “tetapi kalian selalu kembali bersama. Hutan Angin menjaga anak-anak yang mau belajar saling memahami.”


Akira terdiam. Ia teringat semua pertengkaran kecil dengan Kenzo—tentang sepeda, mainan, dan hal-hal sepele.


“Maafkan aku, Kenzo,” kata Akira tiba-tiba. “Aku sering merasa paling benar.”


Kenzo menatap kakaknya, lalu tersenyum kecil. “Aku juga sering keras kepala. Tapi… aku senang punya Kakak.”


Angin berhenti berputar. Daun-daun di pohon besar itu jatuh satu per satu, lalu berubah menjadi cahaya kecil yang hangat. Cahaya itu menyelimuti Akira dan Kenzo, membuat hati mereka terasa ringan.


“Ini adalah harta Hutan Angin,” kata suara itu perlahan. “Keberanian, kerja sama, dan kasih sayang.”


Cahaya meredup. Peta di tangan Akira berubah menjadi kertas kosong.


“Hah? Petanya hilang!” seru Kenzo.


Akira tersenyum. “Sepertinya kita sudah tidak membutuhkannya lagi.”


Mereka berjalan pulang menyusuri jalan yang terasa lebih singkat dari sebelumnya. Ketika keluar dari hutan, matahari sudah mulai condong ke barat.


“Akira,” kata Kenzo sambil melangkah di samping kakaknya, “kalau besok kita bertengkar lagi…”


Akira tertawa kecil. “Tidak apa-apa. Yang penting, kita ingat hari ini.”


Mereka pulang dengan langkah ringan dan hati yang hangat. Hutan Angin kembali sunyi, menyimpan rahasianya, menunggu anak-anak lain yang siap belajar tentang arti petualangan yang sesungguhnya.


Tamat. 🌿✨

Tidak ada komentar:

Posting Komentar