Senin, 25 November 2024

Low Healer: Mahasiswa yang Nyasar ke Dunia Isekai

 


Low Healer: Mahasiswa yang Nyasar ke Dunia Isekai


Chapter 1: Tersesat di Kampus

Ari adalah seorang mahasiswa baru yang baru saja menginjakkan kaki di universitas besar yang penuh dengan gedung-gedung tinggi dan lorong-lorong panjang. Hari pertama kuliah penuh dengan kebingungan. Semua orang tampak tahu ke mana mereka harus pergi, sedangkan Ari, yang masih baru, merasa seperti ikan di luar air. Ia harus menuju ruang kuliah untuk kelas pengantar jurusannya, tetapi setiap sudut kampus terasa asing dan membingungkan.

Setelah berputar-putar dan mengecek jadwalnya, Ari masih belum bisa menemukan ruang kelas yang tepat. Tiba-tiba, di ujung lorong yang sepi, ia melihat sebuah pintu yang agak mencurigakan dengan tulisan besar di atasnya: "Kelas Isekai." Pintu itu terlihat berbeda dari yang lain, dengan desain yang tidak biasa, seolah-olah itu bukan bagian dari kampus biasa. Ada aura misterius yang membuatnya penasaran.

Tanpa berpikir panjang, Ari memutuskan untuk membuka pintu tersebut. Begitu ia melangkah masuk, ia disambut dengan pemandangan yang sangat berbeda dari ruang kelas biasa. Ruangan itu luas, dengan banyak kursi yang sudah terisi oleh mahasiswa-mahasiswa lain. Mereka semua tampak seperti mahasiswa biasa, tetapi ada sesuatu yang berbeda—suasana mereka agak gelisah, seolah sedang menunggu sesuatu yang besar.

Ari merasa aneh, tetapi ia tidak bisa mundur begitu saja. Ia duduk di salah satu kursi kosong, yang langsung terasa tidak nyaman, seolah ruangan itu memiliki atmosfer yang tegang dan penuh rahasia. Di depan kelas, seorang pengajar berdiri dengan ekspresi serius, mengenakan jubah panjang yang terlihat agak kuno. Pengajaran di kelas ini jelas bukan sesuatu yang biasa, dan Ari merasa semakin cemas namun juga tertarik.

"Selamat datang, para peserta Kelas Isekai," suara pengajar itu menggema di seluruh ruangan. "Hari ini kalian akan mendapatkan pemahaman dasar tentang undangan yang telah kalian terima. Kalian semua dipilih untuk melawan Raja Iblis di dunia fantasi."

Ari terkejut. Ini bukan kuliah biasa. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi, tetapi sepertinya semua orang di sini sudah tahu tentang hal ini. Mata mahasiswa-mahasiswa lain tampak terfokus penuh pada pengajar, seolah mereka menunggu sesuatu yang sangat penting.

"Undangan yang kalian terima," lanjut pengajar, "adalah kesempatan untuk melawan Raja Iblis di dunia lain. Dunia ini membutuhkan kalian untuk bertarung dan mengalahkan kekuatan gelap yang mengancam. Waktu di Bumi hanya akan berlalu selama satu bulan, namun di dunia tersebut, satu tahun akan terhitung. Kalian harus berhasil sebelum waktu tersebut habis, atau dunia itu akan jatuh ke tangan sang Raja Iblis."

Ari masih terperangah, tidak tahu apakah ia sedang bermimpi atau apakah semuanya ini nyata. Pengajar melanjutkan penjelasan tentang dunia fantasi tersebut, mengungkapkan berbagai peran yang akan diberikan kepada mereka. Setiap orang yang dipilih akan menerima peran berdasarkan potensi mereka—pahlawan yang dapat menjadi pejuang, penyihir, pemburu, atau bahkan healer yang luar biasa.

"Akan ada berbagai peran yang kalian terima," kata pengajar itu dengan suara yang penuh tekad, "dan setiap peran memiliki kekuatan unik. Namun, ingatlah, peran yang kalian dapatkan sangat bergantung pada kemampuan masing-masing. Jika kalian terpilih untuk menjadi pahlawan, maka kalian akan diberi peran sesuai dengan potensi terkuat kalian."

Ari merasa bingung dan sedikit terintimidasi. Di dunia nyata, ia hanya seorang mahasiswa biasa tanpa kemampuan istimewa. Bagaimana jika ia tidak punya potensi seperti orang lain di sini? Semua orang tampaknya sangat serius tentang tugas mereka, tetapi Ari tidak tahu apa yang bisa ia lakukan.

Tiba-tiba, suara pengajar itu berubah lebih serius. "Namun, sebelum kalian diberi peran, saya harus bertanya satu hal kepada kalian," katanya. "Apakah kalian sudah siap?"

Ari yang masih bingung, hanya bisa mengangguk pelan. Sepertinya, semua orang di ruangan ini juga merasakan hal yang sama. Tetapi sebelum Ari sempat memikirkan lebih jauh, sesuatu yang aneh terjadi. Ruangan itu tiba-tiba berputar, dan dalam sekejap, ia merasa seolah-olah tubuhnya terangkat dan dibawa ke tempat lain.

Dalam hitungan detik, Ari sudah tidak lagi berada di dalam ruang kelas. Dunia yang ada di sekelilingnya tiba-tiba berubah menjadi gelap, dan sebuah suara menggema di telinganya, mengumumkan bahwa mereka telah dibawa ke dunia isekai yang misterius itu.

Ari merasa pusing, tapi di saat yang sama, ada rasa penasaran yang tumbuh di dalam dirinya. Apa yang akan terjadi selanjutnya?



Chapter 2: Peran yang Tak Terduga

Ari terjatuh ke tanah saat dunia sekitarnya berputar dan berubah dengan cepat. Sesaat setelah ia membuka matanya, ia mendapati dirinya berada di tempat yang sangat berbeda. Pemandangan yang ada di sekelilingnya adalah hutan yang lebat dengan pepohonan raksasa dan langit biru yang sangat cerah. Namun, kebingungan Ari belum berakhir.

Beberapa mahasiswa yang sebelumnya ada di ruang kelas kini juga berada di tempat yang sama. Mereka mulai berdiri, melihat sekeliling dengan cemas, sementara pengajar yang sama kini berdiri di depan mereka, memegang sebuah buku tebal.

"Selamat datang di dunia fantasi," kata pengajar itu, suaranya tegas dan penuh otoritas. "Kalian telah dipilih untuk melawan Raja Iblis. Kalian akan menerima peran sesuai dengan potensi masing-masing. Sekarang, saatnya untuk mengetahui apa peran yang akan kalian mainkan."

Semua orang di sekitar Ari tampak bersemangat. Beberapa dari mereka sudah mulai berbicara tentang keinginan mereka untuk menjadi penyihir yang hebat atau pejuang yang kuat. Ari, di sisi lain, merasa cemas. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi, dan perasaan takut mulai muncul dalam dirinya. Jika semua orang ini mendapatkan peran besar yang memungkinkannya untuk bertarung, apakah ia akan menjadi bagian dari mereka?

Dengan tangan yang gemetar, Ari mendekati pengajar yang mulai membuka buku besar di hadapannya. "Ari," pengajar itu memanggil namanya, dan Ari melangkah maju, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. Pengajar itu memeriksa namanya di buku, lalu meliriknya dengan ekspresi yang tidak bisa dibaca.

"Peranmu...," pengajar itu berkata perlahan, seolah tidak percaya. "Low Healer."

Ari merasa terkejut. "Low Healer? Apa itu?" tanyanya, hampir tidak percaya.

Pengajar itu mengernyit, lalu mengangguk pelan, masih tampak bingung. "Ini... ini sangat langka," katanya dengan suara agak ragu. "Saya baru pertama kali melihat peran ini. Bahkan lebih jarang dari peran lainnya. Low Healer adalah peran yang hanya diberikan kepada... warga biasa, bukan untuk pahlawan."

Ari terdiam, serasa dikerumuni kekosongan. Ia mengira dirinya akan diberikan peran seperti penyihir, pejuang, atau setidaknya sesuatu yang lebih berguna untuk bertarung melawan Raja Iblis. Namun, ia malah diberikan peran sebagai seorang penyembuh dengan kemampuan yang sangat rendah, yang jelas tidak bisa berbuat banyak.

Semua orang di sekitar Ari mulai berbisik, ada yang terlihat heran, dan ada juga yang tampak tidak senang. Ari merasa semua mata tertuju padanya, seolah-olah ia bukan bagian dari mereka. Bahkan pengajar itu tampak sangat terkejut.

"Ini tidak bisa benar," pengajar itu berbisik pada dirinya sendiri, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Ari. "Peran ini... peran ini tidak seharusnya ada di sini. Harusnya kamu tidak terpilih."

Ari merasa semakin terpojok. "Lalu, bagaimana ini?" tanyanya, merasa sangat bingung. "Apakah saya bisa kembali ke dunia saya? Mungkin ada kesalahan."

Pengajar itu menatap Ari dengan wajah serius. "Sayangnya, kamu tidak bisa kembali begitu saja," jawabnya dengan suara yang penuh penyesalan. "Kamu sudah terpilih, dan tidak ada jalan untuk kembali. Kamu harus menyelesaikan misi ini bersama yang lainnya, atau tinggal di dunia ini selamanya. Kita semua berada di sini dengan satu tujuan: melawan Raja Iblis."

Ari merasa terjebak. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Sebagai Low Healer, ia tidak mungkin bisa melawan Raja Iblis atau bertarung melawan monster-monster kuat yang ada di dunia ini. Ia tidak memiliki keterampilan bertarung atau kemampuan magis yang hebat. Hanya ada satu pilihan: ikut serta dalam perjalanan ini, meskipun ia merasa sangat tidak siap.

Para mahasiswa lainnya, yang sebelumnya sangat bersemangat, kini mulai memperhatikannya dengan tatapan kosong atau sekadar simpati. Beberapa orang bahkan berbisik di antara mereka sendiri, merasa bingung dengan kehadirannya. Ari merasa seperti beban bagi kelompok ini, tidak bisa berbuat banyak.

"Baiklah," pengajar itu akhirnya berkata, memecah kebisuan. "Peran kalian sudah ditentukan. Sekarang, kalian harus bersiap untuk perjalanan yang panjang dan penuh tantangan. Ingat, kalian harus melawan Raja Iblis sebelum satu tahun berlalu di dunia ini. Jika kalian gagal, dunia ini akan jatuh ke tangan kegelapan."

Ari hanya bisa mengangguk pelan. Ia merasa tak berdaya. Bagaimana bisa ia melawan musuh yang begitu kuat, jika ia bahkan tidak tahu bagaimana cara bertarung dengan kemampuan yang dimilikinya?

"Sekarang," pengajar itu melanjutkan, "kalian akan diberikan perlengkapan dasar dan mulai berlatih. Setiap orang akan diberikan alat dan senjata yang sesuai dengan peran mereka."

Namun, ketika giliran Ari tiba, ia tidak diberikan senjata atau alat tempur apapun. Hanya ada sebuah jimat kecil yang diberikannya, yang berfungsi untuk menyembuhkan luka ringan. Itu saja. Ari hanya bisa menerima jimat itu dengan perasaan yang semakin berat.

Perjalanan baru saja dimulai, dan Ari tahu bahwa ia harus bertahan hidup di dunia yang sama sekali tidak ia kenal. Dengan peran yang begitu lemah, ia hanya bisa berharap bahwa ada jalan lain untuk membuktikan dirinya, meskipun ia tahu itu akan sangat sulit.

Dengan perasaan campur aduk, Ari memulai langkah pertamanya di dunia fantasi ini, berharap suatu saat nanti ia bisa menemukan cara untuk menjadi lebih dari sekadar "Low Healer".


Chapter 3: Dukungan dan Perbedaan yang Terlihat Jelas

Ari berjalan dengan langkah berat melalui jalan setapak hutan yang dihiasi dengan pepohonan besar dan semak-semak lebat. Di sekelilingnya, beberapa mahasiswa lain yang baru saja tiba di dunia fantasi ini sedang berkelompok, membicarakan peran mereka dan berbagi rencana. Di antara mereka, banyak yang tampak percaya diri, bahkan ada yang sudah mulai menguji kemampuan mereka dengan senjata atau sihir yang mereka terima.

Sementara itu, Ari merasa seperti terasingkan. Peran yang ia dapatkan, Low Healer, bukanlah peran yang dihargai oleh kelompok-kelompok yang tengah berlatih ini. Mereka tampak menganggapnya sebagai beban. Namun, di tengah semua itu, ada beberapa orang yang menunjukkan kebaikan hati dan menawarkan dukungan. Mereka adalah teman-teman sekelas yang merasa kasihan melihat Ari yang terlihat bingung dan tak berdaya.

Salah satunya adalah Rina, seorang wanita muda dengan rambut panjang berwarna coklat yang memiliki kemampuan penyembuhan yang luar biasa. Rina mendekati Ari dan menawarkan sebuah senyuman hangat. “Jangan khawatir, Ari. Kami akan membantumu. Kita akan cari cara agar kamu bisa bertahan hidup di sini,” katanya dengan penuh semangat.

Teman-teman lain seperti Danu, seorang pemuda dengan tubuh tinggi besar dan keahlian bertarung, juga turut memberikan semangat. “Kami akan menjaga punggungmu. Setidaknya, kamu punya kemampuan penyembuhan, itu sudah sesuatu yang berharga,” katanya sambil menepuk bahu Ari dengan keras.

Meskipun demikian, Ari tidak bisa menghilangkan perasaan pesimis yang terus menghantuinya. Sebagai Low Healer, ia merasa sangat terbatas. Ia melihat bagaimana teman-temannya dengan peran seperti Pejuang atau Penyihir sudah mulai berlatih menggunakan senjata dan sihir mereka. Mereka bisa menggunakan pedang, busur, atau mantra kuat yang bisa menghancurkan monster-monster yang ada di dunia ini. Di sisi lain, ia hanya memiliki Basic Heal—kemampuan untuk menyembuhkan luka ringan, sesuatu yang bahkan tidak bisa digunakan untuk bertarung.

Di malam hari, mereka berkumpul di sebuah tempat perkemahan sementara, membahas rencana mereka untuk melawan monster-monster yang akan mereka temui dalam perjalanan. Ari menyadari bahwa, meskipun ia dihargai oleh beberapa orang, ia masih merasa jauh tertinggal. Peran penyembuh yang ia miliki sangat berbeda dengan peran Healer milik orang lain yang ditemuinya. Di suatu kesempatan, mereka bertemu dengan seorang Hero Healer, seorang pria bernama Kairo yang memiliki kemampuan penyembuhan luar biasa.

Kairo adalah seorang pria muda dengan penampilan yang karismatik dan aura yang kuat. Ia memiliki kemampuan penyembuhan tingkat tinggi dan sejumlah skill yang luar biasa, seperti Revitalize, yang dapat mengembalikan kekuatan seseorang dengan cepat, atau Mass Cure, yang menyembuhkan semua orang di sekitarnya dalam sekejap. Kairo juga dapat memperkuat tubuh teman-temannya dengan Protective Aura, kemampuan yang bisa melindungi mereka dari serangan musuh.

Ari hanya bisa memandangi dengan rasa kagum dan sedikit cemas. Semua kemampuan Kairo tampak jauh lebih canggih dan berguna dibandingkan dengan Basic Heal yang ia miliki. Setiap kali Kairo menggunakan skill penyembuhannya, orang-orang di sekitarnya langsung merasa segar dan penuh energi, seolah-olah mereka tidak pernah terluka sama sekali. Ari hanya bisa merasa iri, bertanya-tanya bagaimana ia bisa menjadi seperti itu.

“Skill kalian berbeda jauh, Kairo,” ujar Danu dengan penuh kekaguman saat Kairo menyembuhkan sebuah luka serius pada teman mereka. "Peranmu sangat kuat."

Kairo tersenyum tipis, meskipun ia bisa merasakan keinginan Ari untuk memiliki kemampuan yang sama. "Ya, peranku sebagai Hero Healer memang lebih kuat. Tapi ingat, Ari," ia menatap Ari dengan serius, "meskipun peranmu terdengar rendah, itu bukan berarti kamu tidak berguna. Setiap orang punya kemampuan unik yang bisa digunakan untuk membantu rekan-rekannya."

Namun, Ari tetap merasa kecil. Ia mencoba menggunakan perlengkapan dan senjata yang diberikan, berharap setidaknya ia bisa membantu dalam pertempuran. Namun, begitu ia mencoba memegang pedang, busur, atau bahkan perisai, perasaan aneh langsung muncul. Tangan Ari terasa seperti tidak bisa menggenggamnya dengan benar. Seolah ada kekuatan yang menahan tangannya. Setelah mencoba berkali-kali, ia pun menyerah. Ternyata, perannya sebagai Low Healer benar-benar menghalangi dirinya untuk menggunakan peralatan perang apapun.

“Kenapa aku tidak bisa?” pikir Ari frustasi dalam hati. "Ini tidak adil."

Rina yang melihatnya mencoba, datang mendekat. "Kamu tidak bisa menggunakan senjata apapun, kan?" tanyanya dengan lembut. “Sepertinya, peranmu memang hanya memungkinkanmu untuk menyembuhkan dan membantu dengan cara lain.”

Ari hanya mengangguk, merasa semakin tak berdaya. Ia merasa sangat terbatas, dan perasaannya semakin berat. Teman-temannya tetap memberikan dukungan, tetapi Ari tahu, tanpa keterampilan bertarung yang baik, ia hanya bisa berharap agar mereka semua bisa menjaga dirinya.

Malam itu, setelah semua orang tidur, Ari duduk sendirian di bawah pohon besar, termenung. Ia memikirkan perbedaan besar antara dirinya dan orang-orang di sekelilingnya. Hero Healer seperti Kairo memiliki kekuatan luar biasa, sementara dirinya hanya memiliki Basic Heal, kemampuan yang hampir tidak bisa digunakan dalam pertempuran. Ia merasa seperti berada di tempat yang salah—seperti ia terperangkap dalam peran yang tidak pernah seharusnya dimilikinya.

Ari tidak tahu apa yang akan terjadi di perjalanan mereka selanjutnya, tetapi satu hal yang pasti: ia harus menemukan cara untuk bertahan hidup di dunia ini dan membuktikan bahwa meskipun ia Low Healer, ia masih memiliki sesuatu yang berharga untuk diberikan.



Chapter 4: Terjebak dalam Kegelapan

Hutan itu sunyi, angin berhembus pelan melalui ranting pohon yang tinggi menjulang. Ari duduk terdiam di atas batu besar, menatap ke arah kelompok yang perlahan menjauh. Mereka, kelompok yang selama ini memandangnya dengan tatapan penuh ejekan dan kebencian, akhirnya membuat keputusan besar—dan Ari adalah korban dari keputusan itu.

Kelompok itu tidak bisa menerima kenyataan bahwa Ari, yang mereka anggap sebagai "beban", terus ikut bergabung dengan mereka. Dalam pandangan mereka, Ari hanyalah seorang penghalang—seorang Low Healer yang tidak bisa membantu dalam pertempuran atau menjalankan misi apapun yang berharga. Mereka merasa bahwa keberadaannya hanya memperlambat kelompok, membuat mereka kesulitan dalam menghadapi tantangan di dunia fantasi yang penuh bahaya ini.

Ari melihat mereka dengan rasa bingung dan cemas. “Kalian... kenapa?” ia berbisik pelan, tetapi tidak ada yang menjawab. Mereka hanya menatapnya dengan pandangan dingin dan pergi begitu saja, meninggalkan Ari sendirian.

Ari tidak bisa mengerti. Mereka tidak hanya menjauhinya, tapi juga meninggalkannya di tempat yang sangat berbahaya, jauh dari kelompok utama. Hutan ini dikenal sebagai tempat yang dipenuhi dengan monster ganas—makhluk-makhluk buas yang tidak segan-segan menyerang siapa pun yang tidak siap.

“Jangan khawatir, kami akan kembali untukmu...,” kata mereka sebelumnya, tetapi Ari tahu itu adalah kebohongan. Mereka tidak akan kembali. Mereka berharap ia akan mati di sini, dimangsa oleh monster atau kehilangan nyawanya dalam kesendirian.

Ari menghembuskan napas panjang, berusaha menenangkan diri. Ia tidak bisa panik. Ia harus bertahan hidup.

Dengan perasaan berat, ia mulai berjalan menjauh dari tempat di mana kelompok itu meninggalkannya. Tidak ada tujuan jelas, hanya bertahan hidup. Ia membawa jimat penyembuh yang diberikan kepadanya sebelumnya—satu-satunya perlengkapan yang dimilikinya. Itu adalah sesuatu yang sangat berguna, namun terbatas.

Hutan semakin gelap seiring berjalannya waktu, dan suara-suara aneh mulai terdengar dari balik pepohonan. Ari berhenti sejenak, mencoba mendengarkan. Hatinya berdebar kencang. Tak jauh di depannya, sebuah gerakan mencurigakan menarik perhatiannya. Sebuah makhluk dengan tubuh kecil dan tubuh seperti manusia, namun wajahnya penuh dengan kekejian, muncul dari balik semak-semak—sebuah goblin.

Ari terkesiap. Goblin itu menatapnya dengan mata liar, giginya yang tajam terlihat jelas di bawah cahaya redup bulan. Ari tahu, ia tidak punya banyak waktu.

Dia memeriksa tubuhnya, berusaha menemukan cara untuk melawan, tapi tidak ada apapun yang bisa digunakan. Sebagai Low Healer, ia hanya bisa mengandalkan Basic Heal—tidak ada sihir yang bisa membantunya atau senjata untuk menyerang. Hanya kemampuan penyembuhan yang bisa digunakannya. Dan itu tidak akan membantu dalam pertempuran.

Goblin itu mulai mendekat, mengeluarkan suara geraman rendah yang penuh ancaman. Ari mulai mundur, langkahnya cepat, mencoba menjauh dari makhluk itu. Namun, ia tahu, jika ia terus melarikan diri, ia akan kelelahan dan akhirnya ditangkap.

Tanpa pilihan lain, Ari menoleh dan bersiap untuk menghadapi makhluk itu. Ia harus bertahan hidup, tidak peduli betapa lemah ia merasa.

"Basic Heal..." Ari berbisik pada dirinya sendiri, mencoba menenangkan dirinya. Kemampuan itu, meskipun tidak banyak, bisa memberinya sedikit kelegaan jika ia terluka.

Namun, itu tidak cukup untuk menghentikan goblin itu. Goblin tersebut berlari cepat ke arahnya, menyerang dengan sebuah tombak yang terbuat dari kayu kasar. Ari hanya bisa menghindar, melangkah mundur, dan berusaha menghindari serangan itu dengan gerakan yang lincah meskipun tubuhnya gemetar ketakutan.

Ari akhirnya terjatuh, dan goblin itu menyerangnya lagi, mencoba menusukkan tombaknya. Ari tidak punya pilihan lain. Ia menahan tombak itu dengan tangan kosong, mencoba mencegahnya masuk lebih dalam ke tubuhnya, meskipun rasa sakit mulai terasa di telapak tangannya.

Dengan usaha keras, Ari berhasil menendang tubuh goblin itu ke samping, membuatnya terhuyung mundur. Namun, meski ia berhasil bertahan sejenak, rasa sakitnya semakin parah. Perlahan, luka-luka kecil mulai membekas di tubuhnya. Tanpa senjata dan tanpa kemampuan bertarung yang memadai, ia hanya bisa mengandalkan Basic Heal untuk menyembuhkan dirinya.

"Ini... ini bukan cukup..." Ari berbisik sambil mengerang, menggunakan jimat kecil itu untuk menyembuhkan dirinya.

Namun, tiba-tiba, Ari merasakan sesuatu yang aneh. Rasa sakit yang ia alami seakan menjadi motivasi. Setiap kali ia terluka, ia bisa merasakan tubuhnya mulai pulih sedikit demi sedikit. Ia merasa kekuatan dalam dirinya, meskipun kecil, terus menerus bekerja. Keajaiban itu adalah Basic Heal. Tidak banyak, tetapi cukup untuk bertahan hidup.

Dengan sisa tenaga yang ada, Ari akhirnya meninju goblin itu dengan sekuat tenaga, menggunakan kedua tangannya untuk menahan tubuh goblin yang berusaha menyerangnya. Setelah beberapa kali pukulan, ia berhasil menggulung tubuh goblin itu hingga terjatuh ke tanah, lemas tak berdaya. Goblin itu tergeletak, sesaat kemudian, Ari dengan perlahan mulai menyembuhkan luka-lukanya dengan Basic Heal.

"Aku... masih hidup?" pikir Ari, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Ia berhasil mengalahkan goblin itu—tanpa senjata, tanpa keterampilan bertarung yang hebat, hanya dengan tekad dan kekuatan kecil yang ada padanya.

Namun, dia tidak punya waktu untuk merasa bangga. Dia harus segera melanjutkan perjalanan dan menemukan jalan keluar dari hutan ini. Ari tahu, masih banyak bahaya yang mengintai, dan ia harus terus bertahan hidup, bahkan jika dunia ini seolah menentangnya.



Chapter 5: Kemenangan dan Perubahan yang Aneh

Ari duduk terengah-engah di tanah, menatap goblin yang tergeletak tak bergerak. Tubuhnya terasa sakit, tapi ada sesuatu yang berbeda—sesuatu yang lebih besar dari sekadar kelegaan karena berhasil bertahan hidup. Ada semacam kekuatan baru yang mulai mengalir dalam dirinya.

Ia merasakan perubahan dalam tubuhnya, sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Setiap luka yang ia sembuhkan dengan Basic Heal terasa lebih cepat, lebih efisien, dan lebih kuat. Kekuatan penyembuhannya, yang sebelumnya hanya bisa menyembuhkan luka kecil, sekarang tampak memberi efek yang jauh lebih besar. Dia menyembuhkan dirinya dengan lebih sedikit mana, dan luka-luka di tubuhnya terasa hilang begitu cepat, seakan-akan kemampuan penyembuhannya berkembang.

“Ini... apa yang terjadi?” Ari bergumam pelan, kebingungannya mencuat.

Ia menatap tangannya yang baru saja memukul goblin dengan sekuat tenaga, merasakan otot-ototnya yang terasa lebih kuat dari sebelumnya. Tentu saja, dia tahu bahwa selama ini perannya sebagai Low Healer tidak memungkinkan untuk bertarung dengan senjata atau alat perang apapun. Namun, untuk pertama kalinya, Ari merasakan sesuatu yang berbeda—kemampuan fisiknya meningkat, dan itu berkaitan langsung dengan pertarungannya barusan.

Level up—seseuatu yang sering didengar dalam cerita-cerita fantasi dan game yang pernah ia mainkan. Tetapi, kali ini, itu terjadi padanya. Dengan mengandalkan kemampuan fisik dan Basic Heal untuk bertahan hidup, ia benar-benar naik level.

Ari teringat penjelasan dari pengajar di kelas Isekai tentang bagaimana kemampuan seseorang akan berkembang sesuai dengan seberapa sering mereka melatihnya. Semakin sering kemampuan digunakan, semakin kuat dan efisien kemampuan tersebut akan menjadi. Dalam hal ini, kemampuan Basic Heal yang awalnya terbatas, kini mulai berkembang lebih baik karena ia memakainya terus-menerus untuk menyembuhkan dirinya.

“Aku... baru saja mengalahkan goblin dengan tangan kosong, dan sekarang aku merasa lebih kuat,” pikir Ari, menyadari bahwa tubuhnya telah berubah, bahkan lebih dari sekadar kekuatan penyembuhan yang meningkat. Tidak hanya penyembuhan yang lebih cepat, tetapi juga kekuatan fisiknya yang meningkat—ototnya terasa lebih kencang, kecepatan geraknya pun semakin cepat.

“Apakah ini... akibat dari pertempuran itu?” Ari bertanya-tanya, merenung sejenak. Tanpa sadar, dia telah menggunakan tubuhnya dalam pertarungan—dan itu berbuah sesuatu yang tak terduga. Dia tahu bahwa kemampuan fisik juga dapat meningkat jika digunakan dengan intensitas tinggi, tapi tidak pernah ia kira jika perubahan itu datang begitu cepat.

Di saat yang bersamaan, Ari merasakan rasa sakit di tubuhnya akibat pertempuran yang baru saja terjadi. Namun, rasa sakit itu tidak menghalanginya untuk terus maju. Alih-alih merasa lelah, ia merasa lebih hidup, lebih kuat. Seperti ada sesuatu yang membara di dalam dirinya, sesuatu yang mendorongnya untuk terus bertahan.

"Ini... luar biasa," bisiknya dengan penuh keheranan.

Namun, Ari sadar, meskipun tubuhnya telah berkembang dengan cara yang tidak terduga, dia tidak bisa berhenti. Dia harus terus melanjutkan perjalanan untuk bertahan hidup. Hutan ini penuh dengan bahaya, dan dia harus segera menemukan jalan keluar, kembali ke tempat yang aman. Dengan tekad baru yang muncul dalam dirinya, ia mengumpulkan sisa-sisa tenaganya dan berdiri. Meskipun tubuhnya terasa sedikit lebih kuat, dia tahu bahwa pertempuran masih belum berakhir.

Sementara itu, di sisi lain hutan, teman-teman Ari yang menyadari ia hilang mulai panik. Rina, Danu, dan beberapa anggota kelompok lainnya merasa cemas setelah mereka menyadari bahwa Ari telah menghilang tanpa jejak. Mereka mulai mencari-cari jejak Ari di hutan, berpencar dengan harapan bisa menemukannya. Rina, dengan wajah penuh kekhawatiran, terus memanggil nama Ari, berharap menemukan jejak yang bisa membawa mereka kembali ke tempatnya.

"Dia pasti terjebak di suatu tempat," kata Danu dengan nada cemas, matanya terus memindai pohon-pohon besar dan semak-semak yang ada di sekitar mereka. "Kita harus cepat mencarinya sebelum sesuatu yang buruk terjadi."

Rina merasa gelisah, namun ia tidak menunjukkan ketakutan di wajahnya. "Kita akan menemukannya, Danu. Ari pasti tidak jauh dari sini. Dia mungkin terluka, tapi kita harus tetap yakin."

Sementara mereka berjuang mencari Ari, Ari sendiri tengah berusaha keluar dari hutan. Tanpa mereka ketahui, pertempuran yang terjadi di antara dirinya dan goblin telah membentuk titik balik dalam kemampuan Ari. Kekuatan baru yang ia miliki—yang berasal dari level up—memberinya peluang untuk bertahan hidup lebih lama, bahkan melawan bahaya yang lebih besar. Meskipun masih banyak yang harus ia pelajari tentang dunia ini, satu hal yang pasti: Ari tidak akan menyerah begitu saja.

Ia tahu, perjalanan panjangnya baru saja dimulai, dan ia harus terus bertumbuh untuk menjadi lebih kuat, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tapi untuk membuktikan kepada semua orang bahwa ia memiliki sesuatu yang lebih dari sekadar peran Low Healer yang diberikan kepadanya.



Chapter 6: Pengorbanan di Tengah Kehilangan

Ari merasa keringat dingin membasahi tubuhnya ketika dia akhirnya melihat bayangan-bayangan yang akrab di antara pepohonan. Teman-temannya. Rina, Danu, dan yang lainnya akhirnya menemukan jejaknya. Mereka berlari ke arahnya, wajah mereka penuh dengan kelegaan dan kekhawatiran yang bercampur aduk.

"Ari!" Rina berlari ke arahnya dengan cepat, dan Ari bisa melihat betapa cemasnya dia. "Kami mencarimu kemana-mana. Kamu baik-baik saja? Apa yang terjadi padamu?"

Ari hanya bisa tersenyum lemah, namun di matanya ada rasa bersalah yang mendalam. "Aku... aku baik-baik saja. Tidak perlu khawatir," jawabnya pelan, berusaha meyakinkan mereka meskipun tubuhnya masih terasa sakit dan lelah.

Danu juga datang mendekat, masih tampak cemas, namun lega melihat Ari hidup. "Kami sudah hampir kehilangan harapan, Ari. Kami takut sesuatu yang buruk terjadi padamu. Tapi... kenapa kamu sendirian di sini? Kenapa tidak kembali ke kelompok?"

Ari menundukkan kepalanya, menahan rasa bersalah yang menghimpit hatinya. "Aku tidak ingin jadi beban," jawabnya dengan suara yang hampir tidak terdengar, "Aku... aku harus belajar bertarung. Aku harus bisa membantu kalian. Aku tahu aku hanya Low Healer, tapi aku ingin bisa melindungi kalian."

Rina menatapnya dengan mata penuh empati. "Ari, kita semua ada di sini untuk saling membantu. Kamu bukan beban. Kami ingin kamu tetap bersama kami, tidak ada yang lebih penting daripada itu."

Namun, sebelum Ari bisa mengatakan lebih banyak, sebuah suara keras memecah keheningan. Suara gemuruh langkah kaki yang berat mengguncang tanah, dan udara terasa dingin dan berat, seakan-akan dunia di sekitar mereka berubah.

Teman-temannya membeku sejenak, menoleh ke arah suara itu. Dari balik semak-semak dan pohon besar, muncul sosok yang begitu besar dan mengerikan. Mata berwarna merah menyala dan tubuhnya yang besar seperti gunung, monster itu berdiri di hadapan mereka dengan suara menggelegar. Wujudnya seperti naga raksasa dengan sisik gelap dan taring yang tajam, melengking dengan suara yang mengguncang.

Monster itu—sebuah naga hitam—bukanlah makhluk yang seharusnya ada di daerah ini. Ini adalah musuh yang terlalu kuat untuk mereka hadapi. Danu dan yang lainnya langsung merasakan ketakutan yang dalam. Wajah mereka pucat, dan kaki mereka hampir tidak bisa bergerak karena ketakutan.

"Ini... ini tidak mungkin," kata Danu dengan suara serak. "Bagaimana... bagaimana naga ini bisa ada di sini? Ini bukan tempat untuk makhluk sekuat itu."

Rina tampak kebingungan dan ketakutan. "Kita tidak bisa melawan monster sebesar itu! Kita harus lari!"

Ari merasakan hatinya berdegup kencang, tapi di balik rasa takutnya, ada rasa bersalah yang semakin membebani. Aku tidak bisa membiarkan mereka mati... pikirnya. Mereka sudah cukup banyak berkorban untukku. Aku... aku harus melindungi mereka.

Sambil melihat ke arah teman-temannya yang mulai panik, Ari tahu bahwa ini adalah saat yang sulit. Mereka tidak bisa menghadapi naga itu, dan mereka pasti akan mati jika tetap bertahan. Di sisi lain, Ari tahu, sebagai Low Healer, dia tidak cukup kuat untuk melawan makhluk seperti itu. Tetapi ada satu cara untuk memberikan mereka kesempatan.

"Ari, kita harus pergi! Cepat!" teriak Rina, melihat Ari yang hanya berdiri diam.

Ari menarik napas panjang, rasa berat memenuhi dadanya. Dia tahu dia harus melindungi teman-temannya, bahkan jika itu berarti ia harus mengorbankan dirinya. Ari merasa seperti dia tidak punya pilihan. Jika ia terus bertahan, semua orang akan mati.

"Tidak... kalian harus pergi sekarang!" kata Ari, matanya penuh tekad, meskipun ada perasaan yang berat di dadanya. "Kalian harus lari, dan aku akan menghadapi monster ini. Ini satu-satunya cara untuk memberi kalian kesempatan untuk hidup."

"Ari, jangan! Jangan lakukan itu!" Rina berteriak, matanya berkaca-kaca. "Kami tidak bisa meninggalkanmu!"

"Tidak ada waktu!" Ari menatap mereka dengan tegas. "Jika kalian tinggal, kita semua akan mati. Pergi sekarang, atau kita semua akan berakhir di sini. Aku akan mengalihkan perhatian naga ini, beri aku waktu untuk memberi kalian kesempatan!"

Teman-temannya terdiam, mata mereka dipenuhi ketidakpercayaan dan kecemasan. Mereka ingin tetap bersama Ari, tapi mereka tahu dia benar. Mereka harus lari, atau mereka semua akan terbunuh.

Dengan hati yang berat, Rina akhirnya mengangguk dan menarik Danu untuk mundur. "Ari... hati-hati," katanya dengan suara lirih, sebelum ia dan yang lainnya mulai mundur, berlari menjauh.

Ari berdiri tegak, menatap naga hitam yang mendekat dengan langkah berat. Tubuhnya bergetar karena ketakutan, tapi hatinya dipenuhi dengan tekad. Jika aku harus mati, aku akan melakukannya untuk mereka.

"Naga besar," Ari berkata pelan, suaranya bergetar. "Aku mungkin tidak bisa menghentikanmu... tapi aku akan mencoba."

Dengan tangan kosong dan kemampuan penyembuhan yang terbatas, Ari maju untuk menghadapi monster itu. Ia tahu ini adalah pengorbanan yang tidak bisa dielakkan, namun di dalam dirinya, ia merasakan keberanian yang baru—dan itu memberinya kekuatan untuk melangkah maju meskipun ketakutan mencekam hatinya.

Ari siap bertarung, meskipun dia tahu, ini mungkin akan menjadi pertarungan terakhirnya.



Chapter 7: Kabar Buruk dan Awal Penyelidikan

Di kota utama, suasana mencekam menyelimuti setelah kabar tentang serangan naga tersebar. Meskipun Ari tidak diketahui nasibnya, seluruh kota dilanda kecemasan dan kekhawatiran. Para pahlawan yang terpilih untuk melawan Raja Iblis kini harus menghadapi ancaman yang jauh lebih besar dari yang mereka bayangkan.

Di dalam istana, Raja Yana, penguasa yang memimpin pasukan dan kebijakan untuk perang melawan Raja Iblis, menerima laporan dari pasukan yang kembali. Laporan itu datang dengan berita yang sangat mengejutkan—sebuah naga hitam raksasa telah muncul di daerah yang seharusnya aman. Bahkan lebih mengejutkan lagi, naga itu telah menghancurkan hampir seluruh wilayah hutan dan menyebabkan kehancuran besar. Namun, yang paling mencuri perhatian adalah kabar mengenai satu pahlawan yang rela mengorbankan diri untuk menyelamatkan teman-temannya.

“Jadi, ada seorang pahlawan yang menghadapi naga itu sendirian?” tanya Raja Yana dengan nada serius saat mendengar laporan dari kepala pasukan.

"Ya, Yang Mulia," jawab sang kepala pasukan, suara penuh rasa hormat dan kekhawatiran. "Menurut saksi mata yang berhasil selamat, seorang pemuda bernama Ari, yang dianggap sebagai Low Healer, mengalihkan perhatian naga tersebut agar teman-temannya bisa melarikan diri. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi selanjutnya, namun dari apa yang kami dengar, ia kemungkinan besar sudah gugur."

Raja Yana terdiam sesaat, merenung dalam-dalam. “Sungguh pengorbanan yang luar biasa,” katanya, mengelus janggutnya yang tebal. "Namun, ini adalah berita yang buruk bagi kita semua. Jika naga itu memang dikirim oleh Raja Iblis, ini artinya kita berhadapan dengan kekuatan yang jauh lebih besar daripada yang kita duga."

Prajurit lain di sekitar ruangan tampak gelisah. Raja Iblis semakin dekat dengan tujuan utamanya, dan dengan kekuatan seperti naga ini, seluruh dunia bisa terancam dalam waktu singkat. Perang yang selama ini mereka persiapkan seolah-olah berubah menjadi perang melawan waktu—waktu yang semakin sempit.

Sementara itu, di luar istana, kabar tentang Ari yang dianggap telah gugur sebagai pahlawan mulai tersebar di kalangan masyarakat. Kabar ini cepat sampai ke telinga para pahlawan lain yang masih berada di kota. Rina, Danu, dan beberapa teman lainnya yang sebelumnya mencari Ari kini merasa kehilangan dan sangat tertekan. Mereka tak bisa mempercayai bahwa sahabat mereka telah mengorbankan dirinya, bahkan tanpa mereka bisa berbuat banyak.

Rina duduk termenung di sebuah sudut kota, mengingat kembali kata-kata Ari sebelum ia mengorbankan dirinya. Aku akan memberikan kalian kesempatan. Air mata mulai mengalir di pipinya, namun ia berusaha menahan tangis. "Ari, aku akan membuktikan bahwa pengorbananmu tidak sia-sia," bisiknya dengan tekad.

Danu yang duduk di sampingnya menatap kosong ke depan, pikirannya teralihkan ke apa yang sebenarnya terjadi di hutan itu. “Bagaimana mungkin kita tidak tahu tentang naga itu sebelumnya?” kata Danu dengan penuh rasa bingung. "Dan sekarang, kita tidak tahu apa yang terjadi pada Ari. Bagaimana bisa dia menghadapi monster seperti itu sendirian? Apa yang terjadi setelah itu?"

Rina menghapus air mata di pipinya dan berdiri. "Aku harus melaporkan ini ke penguasa. Ada sesuatu yang aneh tentang naga itu. Tidak mungkin monster seperti itu muncul begitu saja di daerah yang seharusnya aman. Ini bukan kebetulan."

Sementara itu, di balik kabut kebingungannya, Raja Iblis mulai merencanakan langkah berikutnya. Kabar tentang para pahlawan yang baru saja dipilih untuk melawan dirinya telah mencapai telinga para pengikut setianya. Untuk menghancurkan harapan mereka, ia memutuskan untuk mengirim naga hitam—sesuatu yang lebih dari sekadar ujian biasa. Raja Iblis tahu bahwa dengan mengirim makhluk sekuat itu, ia bisa menguji kemampuan para pahlawan yang masih muda dan tidak berpengalaman.

Tidak hanya itu, serangan naga ini juga menjadi peringatan. Jika mereka ingin mengalahkan Raja Iblis, mereka harus siap menghadapi ancaman yang lebih besar dari sekadar pasukan biasa. Rencananya sudah terencana dengan matang: dia akan menghancurkan setiap harapan mereka, satu per satu.

“Lanjutkan pencarian mereka. Jangan beri mereka kesempatan untuk bersiap,” perintah Raja Iblis dengan suara yang berat dan penuh kebencian. “Biarkan mereka merasa takut. Mereka belum siap menghadapi ancaman sejati.”

Sementara itu, Rina dan Danu, bersama dengan teman-teman Ari yang lain, memutuskan untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut. Mereka tidak bisa menerima begitu saja bahwa Ari telah gugur. Mereka percaya ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi. Mereka pun mulai menyusun rencana untuk mencari tahu siapa yang mengirim naga itu, dan apakah ada yang bisa mereka lakukan untuk menyelamatkan Ari—atau setidaknya, memberi arti pada pengorbanannya.

Di tengah kesibukan mereka, satu hal yang jelas: perang yang mereka hadapi jauh lebih besar dari yang mereka bayangkan, dan setiap langkah mereka akan menentukan nasib dunia yang sedang terancam oleh Raja Iblis.

Namun, tidak ada yang tahu bahwa Ari, meskipun dianggap gugur, ternyata masih hidup dan telah berubah lebih kuat dari sebelumnya, tanpa siapapun yang mengetahui perubahan besar yang sedang terjadi padanya.


Chapter 8: Pertarungan Melawan Naga

Ari berlari dengan sekuat tenaga, tubuhnya bergetar karena ketakutan dan rasa sakit. Namun, ia tahu satu hal yang lebih penting daripada rasa takutnya—ia harus menjauhkan naga itu dari kota. Jika makhluk itu sampai menghancurkan kota, maka teman-temannya yang sudah melarikan diri dan seluruh warga yang tak terhitung jumlahnya akan menjadi korban. Ari harus menjadi umpan untuk memastikan mereka selamat, meskipun dia tahu betapa sulitnya itu.

Dengan napas yang terengah-engah, Ari berlari melewati pepohonan besar, mencoba menghindari serangan-serangan dari naga hitam yang mengejarnya. Setiap kali naga itu meluncurkan semburan api dari mulutnya, Ari menunduk dan berputar dengan gesit, berusaha menghindari api yang melesat begitu cepat. Tubuhnya masih terasa kaku dan penuh rasa sakit setelah pertempuran dengan goblin sebelumnya, tetapi dia tahu bahwa ia tidak bisa berhenti.

"Saat ini... aku harus bertahan," gumamnya, napasnya terdengar berat. "Aku harus mengarahkanmu menjauh dari kota."

Tapi, meskipun Ari berlari secepat mungkin, naga itu terus mengejarnya dengan kecepatan luar biasa. Suara sayapnya yang besar menggunturkan udara di sekitarnya, dan setiap langkah kaki naga yang berat membuat tanah bergetar. Ari bisa merasakan getaran itu semakin mendekat.

Tiba-tiba, serangan api kembali meluncur ke arahnya. Tanpa bisa menghindar, Ari terhantam oleh semburan api yang membakar tubuhnya. Rasa sakit itu luar biasa, tapi Ari menahan jeritan dan segera meraih sakunya, mengeluarkan sedikit mana untuk menggunakan Basic Heal. Cahaya hijau lembut muncul di telapak tangannya, dan luka-luka yang menghitam akibat api perlahan-lahan sembuh.

Namun, efek penyembuhan itu tidak bertahan lama. Tubuhnya masih terasa terbakar dan lemah, dan setiap kali dia bergerak, rasa sakitnya semakin terasa. Ari tidak punya waktu untuk beristirahat. Naga itu tidak memberi ampun, dan dia tahu dia harus terus bergerak.

"Jika aku berhenti, semuanya akan sia-sia," bisiknya, wajahnya penuh tekad meski tubuhnya kelelahan.

Ari kembali berlari, menghindari serangan demi serangan yang datang dari naga hitam itu. Setiap kali terluka, ia menggunakan Basic Heal untuk menyembuhkan dirinya sendiri, meskipun kekuatan penyembuhannya terbatas. Tetapi Ari tidak menyerah, karena ia tahu bahwa setiap langkah yang ia ambil semakin menjauhkan naga itu dari kota. Itu adalah harga yang harus dia bayar, dan ia siap menghadapinya.

Dalam perjalanan melarikan diri, Ari teringat kata-kata teman-temannya yang pernah menghiburnya. “Kamu bukan beban, Ari. Kamu adalah bagian dari kita, dan kita akan selalu bersama.” Kata-kata itu kembali menguatkan tekadnya. Aku harus berjuang demi mereka. Demi semuanya.

Ari menatap naga yang terus mengejarnya dengan mata penuh semangat. Ia tahu tubuhnya lemah, namun dalam hatinya ada kekuatan yang tak terlihat. Rasa sakit yang luar biasa tidak menghalanginya untuk terus berlari, untuk terus bertahan.

Namun, naga itu mulai semakin mendekat. Ari bisa merasakan panas dari napas naga yang membakar udara di sekitarnya. Itu hanya masalah waktu sebelum naga itu menangkapnya. Tetapi dalam detik-detik terakhir, Ari menemukan sebuah celah. Dengan seluruh tenaga yang tersisa, ia melompat ke samping, membuat naga itu meleset sedikit.

Tak ingin memberi kesempatan untuk diserang, Ari berlari lagi. Kali ini, ia memutuskan untuk mengarahkannya lebih jauh, menuju jurang besar yang terletak tidak jauh dari tempat mereka bertarung. Jika dia bisa membawa naga itu ke sana, mungkin ia bisa memanfaatkannya untuk menjauhkan monster itu dari kota.

Ari merasakan sedikit harapan muncul dalam dirinya. Namun, naga itu tidak bodoh. Dengan kecepatan luar biasa, naga itu mengejar kembali, bahkan lebih cepat daripada sebelumnya.

Saat naga itu meluncurkan serangan api terakhir yang sangat kuat, Ari menyadari bahwa dia tidak akan mampu menghindarinya kali ini. Api itu datang dengan sangat cepat dan besar, hampir seperti tsunami yang siap menghancurkan segala hal di hadapannya.

Namun, dalam saat-saat terakhir, Ari memutuskan untuk mengambil langkah terakhir, menyerahkannya pada nasib. Ia mengangkat kedua tangannya, mengaktifkan Basic Heal dengan seluruh mana yang dimilikinya. Sebuah cahaya hijau menyelubungi tubuhnya, berusaha mengurangi kerusakan yang ditimbulkan oleh api itu.

Api itu menghantam tubuhnya dengan dahsyat, tetapi saat itulah sesuatu yang aneh terjadi. Mananya yang terbatas ternyata cukup untuk menahan sebagian besar efek api itu, dan tubuhnya yang terluka parah mulai pulih dengan cepat berkat keajaiban dari heal yang terus berlangsung.

Namun, tubuh Ari sudah terlalu lelah, dan luka-luka sebelumnya membuatnya semakin lemah. Dengan langkah yang goyah, ia terus berlari. "Aku harus bisa mencapai jurang itu," pikirnya. "Aku harus melakukannya untuk mereka."

Ari melihat jurang besar itu di kejauhan, dan dengan seluruh tenaga yang tersisa, ia berlari ke arah itu, memimpin naga untuk mengikutinya. Naga itu mengejar, tetapi semakin mendekat ke tepi jurang. Ari merasa ada harapan, meskipun sedikit, bahwa ia bisa menuntaskan pengorbanannya.

Dengan satu dorongan terakhir, Ari melompat menuju tepi jurang, sementara naga itu menerjang ke arahnya dengan kecepatan penuh. Saat naga itu hampir mencapai tepi jurang, Ari merasakan tubuhnya terjatuh, dan dunia di sekitarnya mulai gelap.

Namun, dalam kegelapan itu, ia tersenyum. “Aku... telah memberi mereka kesempatan.”


Chapter 9: Kekuatan yang Tumbuh dari Pengorbanan

Ari terjatuh ke dalam jurang, dan dunia di sekitarnya mulai mengabur. Rasanya seperti tubuhnya telah terkuras habis—keletihan, luka, dan ketakutan yang mendalam menyatu dalam kegelapan yang menyelimutinya. Namun, meskipun matanya mulai meredup, pikirannya masih sadar. Aku... harus bertahan...

Tiba-tiba, sebuah sensasi yang aneh mengalir ke dalam tubuhnya. Cahaya hijau yang familiar muncul di sekeliling tubuhnya, dan meskipun tubuhnya hampir tidak memiliki tenaga lagi, Basic Heal secara otomatis aktif, menyembuhkan luka-luka berat yang menghancurkan kulit dan dagingnya. Pada awalnya, Ari merasa heran. Biasanya, dia harus secara sadar mengaktifkan kemampuan ini, tetapi sekarang, heal tersebut seolah-olah bekerja tanpa diperintah, seolah ia memiliki energi tak terbatas untuk memperbaiki dirinya.

Rasa sakit yang hampir membuatnya kehilangan kesadaran mulai mereda, dan dengan setiap detik yang berlalu, tubuhnya terasa semakin ringan. Seperti angin segar yang menyapu tubuhnya, energi baru mengalir ke dalam setiap otot yang lelah, setiap tulang yang rapuh. Ari mendapati dirinya seperti baru bangun dari tidur panjang, tanpa kelelahan sama sekali.

Ini... apa yang terjadi?

Ari mencoba bergerak, dan tubuhnya tidak lagi terasa sakit. Luka-luka yang sebelumnya menghancurkan kulit dan membakar tubuhnya kini hilang begitu saja, seolah waktu mundur ke saat ia pertama kali diserang. Basic Heal bukan hanya menyembuhkan luka-lukanya—kemampuan itu tampaknya juga menyegarkan tubuhnya, mengurangi kelelahan luar biasa yang selama ini ia alami.

"Apakah... ini yang dimaksud dengan 'level up'?" gumam Ari dengan suara lemah, tetapi penuh rasa heran.

Sesuatu dalam dirinya telah berubah. Sadar atau tidak, Ari sekarang berada pada titik di mana Basic Heal bukan hanya sekadar kemampuan penyembuhan biasa. Dengan terus menggunakannya pada dirinya sendiri, kemampuan itu telah berkembang menjadi sesuatu yang lebih besar. Heal kini secara otomatis aktif setiap kali dia terluka, dan yang lebih mengejutkan, kemampuan ini juga mengurangi kelelahan fisik yang luar biasa—sebuah efek samping yang tidak pernah dia duga sebelumnya.

Dengan penuh kebingungan, Ari mencoba berdiri. Meski lelah, seolah-olah tubuhnya sudah pulih sepenuhnya. Ia merasa segar kembali, bahkan lebih baik daripada sebelumnya. Rasa sakit yang terus menerus menggerogoti tubuhnya seolah hilang begitu saja, dan bahkan sedikit energi yang hilang setelah berlarian menghindari naga itu kembali seperti semula.

Ketika ia melangkah lebih jauh ke dalam jurang, ia merasa seolah ia telah kembali dari batas kemampuannya. Setiap langkah terasa lebih ringan, dan meskipun ia tahu tubuhnya seharusnya lelah—sudah terlalu lama ia bertahan hidup dalam kondisi yang mengerikan—ia merasa seolah baru memulai perjalanannya.

“Ini... ini luar biasa,” bisik Ari, tidak bisa percaya dengan perubahan yang terjadi dalam dirinya. Tubuhnya benar-benar terasa berbeda. Tidak hanya fisiknya yang pulih, tetapi juga kekuatan yang berasal dari heal itu memberikan dorongan mental yang luar biasa. Ari merasa bahwa apa yang seharusnya merupakan beban, kini menjadi kekuatan besar yang membantunya bertahan.

Ari berhenti sejenak dan mencoba fokus pada kemampuan barunya. Ia mengaktifkan Basic Heal lagi, bukan karena dirinya terluka, tetapi untuk menguji sejauh mana kemampuan ini dapat bekerja tanpa batasan. Dengan tenang, Ari menatap luka-lukanya yang sempat terbakar oleh api naga, lalu memfokuskan pikirannya pada heal.

Cahaya hijau muncul dengan lebih cerah dari sebelumnya, kali ini jauh lebih cepat dan lebih kuat. Tubuh Ari yang sempat hancur oleh luka kini pulih dalam hitungan detik, dan bahkan luka-luka lama yang sempat menghambat gerakannya ikut sembuh dengan cepat.

“Ini... lebih dari sekadar penyembuhan,” katanya dengan suara terkejut. “Ini adalah kekuatan sejati.”

Tak lama setelahnya, Ari merasa ada sesuatu yang menyentuh dirinya—sebuah kesadaran baru tentang tubuhnya dan kekuatannya. Setiap serangan, setiap luka, kini menjadi cara untuk melatih Basic Heal. Setiap kali dia terluka, kemampuan penyembuhannya semakin kuat. Dan yang paling mengejutkan, tubuhnya yang semula lemah dan tidak terlatih kini mulai menunjukkan tanda-tanda kekuatan luar biasa. Tanpa disadari, setiap kali ia menggunakan Basic Heal, ia juga memperkuat fisiknya—otot-ototnya menjadi lebih kuat, daya tahan tubuhnya meningkat, dan kecepatan geraknya pun jauh lebih cepat.

“Aku... semakin kuat...” pikir Ari dengan penuh keheranan. "Jadi... ini adalah bagaimana kemampuan fisikku berkembang."

Dengan kemampuan baru ini, Ari merasa jauh lebih siap. Meski tubuhnya belum sepenuhnya sembuh, semangatnya kini menyala kembali. Ia mulai menyusun rencana untuk menghadapi naga yang sebelumnya mengejarnya—meskipun ia tahu betapa kuatnya naga itu, Ari kini merasa percaya diri.

"Kalau aku bisa terus meningkatkan kemampuan ini, aku bisa melawan siapa pun. Bahkan... naga itu," gumamnya dengan tekad yang kuat.

Ari menarik napas dalam-dalam dan merasakan kekuatan yang baru tumbuh dalam dirinya. Meskipun tak ada jaminan bahwa dia bisa bertahan lebih lama, satu hal yang pasti: kali ini, ia tidak akan menyerah. Dengan Basic Heal yang terus memperkuat tubuhnya dan mengurangi kelelahan, dia merasa seperti mendapatkan kesempatan kedua—kesempatan untuk mengubah nasibnya, mengubah takdirnya, dan membuktikan bahwa dirinya lebih dari sekadar Low Healer yang tak berguna.

“Aku akan mengalahkan naga itu,” katanya dengan suara penuh keyakinan, siap untuk melanjutkan perjalanannya.


Chapter 10: Kembali ke Kota - Ari yang Baru

Berbulan-bulan telah berlalu sejak Ari terakhir kali bertarung dengan naga itu. Waktu terus berjalan, dan meskipun tidak banyak yang tahu, Ari telah melatih dirinya dengan keras. Setiap hari, ia berjuang dengan rasa sakit yang luar biasa, bertarung melawan monster-monster yang lebih kuat dan lebih menakutkan, sembari terus mengasah kemampuan penyembuhannya. Ia menjadi semakin kuat, lebih tahan lama, dan lebih cerdas dalam bertarung. Namun, dunia luar tidak mengetahui hal ini—selama ini, ia masih dianggap sebagai orang biasa yang tidak memiliki keahlian hebat selain Basic Heal.

Kota itu kini berada dalam keadaan penuh ketegangan. Persiapan perang melawan Raja Iblis sudah hampir selesai. Pahlawan-pahlawan yang dipilih dari berbagai penjuru dunia telah berkumpul, bersiap menghadapi musuh terbesar mereka. Ari, yang sudah dianggap mati oleh teman-temannya dan orang-orang di kota, kembali ke kota itu dengan langkah mantap.

Kabar tentang kembalinya Ari segera tersebar, membuat kota heboh. Banyak yang tak percaya, beberapa bahkan menganggapnya sebagai penipuan atau keajaiban yang tidak masuk akal. "Ari yang dulu tak berguna, yang dianggap hanya sebagai beban, masih hidup?" banyak orang berbisik dengan heran dan kebingungan.

Namun, Ari tidak peduli dengan pandangan orang-orang. Dia hanya ingin berbicara dengan teman-temannya, yang selama ini mencari dan merindukannya.

Saat Ari berjalan melewati kota, teman-temannya yang dulu pernah mengkhawatirkannya melihatnya. Wajah mereka seketika berubah, antara kebingungan dan kelegaan. Tidak sedikit yang terkejut, bahkan ada yang hampir menangis melihatnya kembali.

“Ari! Benarkah itu kamu?” teriak salah satu temannya dengan suara terkejut.

Ari tersenyum tipis, wajahnya yang dulu penuh ketakutan dan keraguan kini lebih matang dan penuh keyakinan. "Ya, itu aku. Maaf telah mengecewakan kalian dulu."

Seorang temannya berlari mendekat dan memeluknya dengan erat. “Kami... kami pikir kamu sudah mati! Tapi, kenapa kamu... kenapa kamu bisa bertahan?”

Ari mengangkat bahu, mencoba mengendalikan emosi yang mulai meluap. "Banyak hal yang terjadi. Aku berubah, dan belajar banyak. Aku... tidak bisa pulang begitu saja, aku harus kembali untuk melawan Raja Iblis."

Namun, meskipun teman-temannya sangat senang melihatnya kembali, mereka tetap khawatir. Beberapa dari mereka masih ragu, melihat Ari yang hanya memiliki Basic Heal—kemampuan yang mereka anggap tidak cukup kuat untuk bertarung melawan musuh yang sangat kuat. Mereka ingat betul bagaimana Ari dulu sering merasa terpinggirkan karena perannya yang tidak sesuai dengan harapan pahlawan.

“Ari, kau tahu kan... perang ini akan melibatkan pahlawan-pahlawan hebat. Mereka memiliki kemampuan luar biasa. Bahkan beberapa di antara mereka bisa mengendalikan sihir tingkat tinggi, pedang-pedang legendaris... bagaimana bisa kamu bertarung dengan hanya Basic Heal?” salah satu temannya bertanya, khawatir.

Ari tersenyum kecil, meyakinkan mereka. "Aku tahu aku bukan pahlawan besar. Tapi aku sudah belajar banyak. Sekarang, aku bisa menjaga diriku sendiri. Dan aku akan melakukan yang terbaik di medan perang."

Teman-temannya masih ragu, tetapi melihat sikap Ari yang jauh berbeda dari sebelumnya, mereka mulai merasa sedikit lebih tenang. Ari bukan lagi bocah yang dulu terperangkap dalam kebingungannya. Ia sekarang tampak lebih kuat, lebih fokus, dan lebih siap menghadapi apapun yang datang.

Ari melanjutkan, “Aku tahu aku bukan yang terkuat, tapi aku juga tahu satu hal—kekuatan itu tidak hanya datang dari senjata atau sihir. Terkadang, kekuatan yang paling penting adalah bertahan, terus bangkit meskipun kalah, dan tetap berjuang untuk orang-orang yang kita cintai.”

Mendengar kata-kata itu, beberapa teman Ari terdiam sejenak, seolah tertegun oleh perubahan yang begitu besar dalam dirinya.

"Ari, kau benar. Meskipun kekuatanmu tidak besar, semangatmu tak terbendung," kata salah satu temannya, yang dulu sempat meremehkan kemampuan Ari. “Kami mendukungmu.”

Ari tersenyum, rasa terima kasih muncul di hatinya. “Terima kasih. Bersama-sama, kita bisa mengalahkan Raja Iblis.”

Namun, meskipun teman-temannya mulai percaya, mereka tahu bahwa pertempuran yang akan datang bukanlah pertempuran biasa. Mereka harus melawan Raja Iblis, makhluk yang sudah menaklukkan banyak kerajaan dan bangsa, dan sudah menanti mereka di medan perang.

Ari yang pernah dianggap lemah, kini kembali dengan kekuatan baru. Meskipun dia masih memiliki Basic Heal, kemampuan yang dahulu dianggap sepele, Ari tahu bahwa dalam perang ini, bertahan adalah kunci utama. Ia tidak bisa meramalkan apa yang akan terjadi, tetapi satu hal yang pasti: Ari akan melawan, bertahan, dan berjuang—demi dirinya, demi teman-temannya, dan demi seluruh dunia.

Kota masih dalam ketegangan, dan waktu menuju perang melawan Raja Iblis semakin dekat. Namun, di mata orang-orang, Ari yang dulu hanya seorang Low Healer kini menjadi simbol ketekunan dan keberanian—bahwa meskipun seseorang tidak memiliki kemampuan hebat, dengan usaha dan keyakinan, mereka bisa bertahan dan menemukan kekuatan dalam dirinya yang tidak pernah mereka sadari sebelumnya.

“Ayo, kita semua bersiap,” kata Ari, melangkah dengan penuh keyakinan ke arah medan perang. “Perang ini belum dimulai, dan kita masih punya kesempatan.”


Chapter 11: Keputusasaan di Tengah Perang

Perang besar melawan Raja Iblis dimulai dengan gemuruh yang mengguncang tanah. Di medan pertempuran yang penuh dengan api, darah, dan kehancuran, para pahlawan terbaik berjuang mati-matian. Ari, yang sebelumnya merasa optimis dan penuh semangat, kini berada di belakang barisan, menjalani peran yang dipaksakan kepadanya—sebagai healer.

Ari tidak bisa bertarung. Ia tidak bisa menggunakan senjata, tidak bisa mengeluarkan sihir mematikan, atau menguasai kekuatan luar biasa. Ia hanya memiliki Basic Heal, kemampuan untuk menyembuhkan dirinya dan orang lain—tapi itu saja tidak cukup. Di tengah pertempuran yang begitu brutal, setiap detik sangat berharga. Setiap serangan yang tidak bisa dicegah berpotensi merenggut nyawa.

"Ari! Sembuhkan aku!" teriak salah satu pahlawan, tubuhnya terluka parah. Ari segera bergerak, menggunakan kemampuan penyembuhannya untuk merawat luka pahlawan itu. Namun, saat ia menoleh ke medan perang, apa yang dilihatnya membuat hatinya hancur.

Pahlawan-pahlawan yang gagah berani, dengan senjata legendaris dan kekuatan sihir luar biasa, terjatuh satu per satu. Raja Iblis dan pasukannya yang sangat kuat terus menggempur mereka, membuat setiap serangan terasa seperti pukulan maut. Ari merasa dirinya semakin kecil di antara mereka. Ia hanya bisa menyembuhkan luka, tetapi itu tidak cukup untuk mengubah jalannya pertempuran.

"Kenapa aku di sini? Apa yang bisa aku lakukan?" gumam Ari dalam hati, rasa putus asa mulai menyelimuti pikirannya. Ia menyembuhkan satu pahlawan, tapi ada dua lagi yang terjatuh. Ia berlari untuk membantu yang lain, tetapi setiap kali ia mencoba, ada saja ancaman yang lebih besar—Raja Iblis, para jenderalnya, dan pasukan iblis yang tak terhitung jumlahnya. Ari merasa seperti berada di tengah-tengah badai yang tak bisa ia kendalikan.

Di balik keberanian para pahlawan, Ari hanya bisa merasakan dirinya semakin terperosok dalam kegelapan ketidakberdayaan. Ia memandang sekilas ke arah para pahlawan yang berjaya—pejuang-pejuang kuat yang bisa menghancurkan monster-monster besar dengan satu serangan. Mereka bertarung dengan gagah, tetapi Ari tahu, tanpa bantuan, mereka akan tumbang satu per satu.

Aku... aku hanya bisa menyembuhkan. Itu saja. Ari merasa seperti dia hanya menjadi beban. Ia ingin berlari maju, bertarung bersama mereka, namun tubuhnya terjebak dalam peran yang tak bisa ia ubah. Ia merasa seperti tidak memiliki tempat di medan perang ini.

Luka-luka yang ia sembuhkan tidak mengurangi kepedihan di hatinya. Setiap kali ia menyembuhkan seseorang, ia tahu, meskipun tubuh mereka pulih, semangat mereka semakin runtuh. Kekuatan Raja Iblis terlalu besar, dan para pahlawan semakin terdesak. Ari tidak tahu berapa lama ia bisa bertahan, berapa lama ia bisa terus memberi harapan yang semakin memudar.

Saat ia berlari untuk menyembuhkan seorang pahlawan lain yang terluka parah, sebuah serangan besar datang dari arah yang tak terduga. Sebuah bola api besar menghantam tanah, mengguncang medan pertempuran dan menciptakan ledakan yang melontarkan Ari ke belakang. Tubuhnya terlempar, jatuh ke tanah dengan keras, tetapi ia berhasil selamat.

Namun, ketika ia bangkit dan melihat sekeliling, hatinya mulai hancur. Pahlawan-pahlawan yang ia kenal satu per satu mulai gugur. Para pahlawan yang dulu ia anggap sebagai simbol kekuatan kini berbaring tak bernyawa di tanah. Tidak ada lagi yang tersisa untuk dia bantu.

"Apa yang bisa aku lakukan? Aku tidak bisa... menyelamatkan mereka..." pikir Ari, suara hatinya hampir tenggelam dalam keputusasaan.

Dia merasakan tangan dingin rasa putus asa merambat ke jantungnya. Pada saat itu, ia merasakan bahwa perannya sebagai healer tidak cukup. Ia merasa terjepit, terjebak dalam kenyataan bahwa meskipun dia memiliki kekuatan penyembuhan yang besar, dunia ini membutuhkan lebih dari sekadar kemampuan itu untuk bertahan.

Di tengah kegelapan itu, Ari hampir kehilangan semangatnya. Ia berlutut di tanah, hampir menangis melihat kekalahan yang tak terelakkan. Namun, saat itu juga, ia mendengar suara teman-temannya yang masih bertahan. Mereka yang terluka parah, yang hampir mati, masih mengandalkan Basic Heal yang selama ini ia anggap tak berarti.

Teman-temannya masih hidup berkat kemampuannya—meskipun sedikit, Basic Heal menjadi satu-satunya harapan mereka untuk bertahan. Meskipun Ari merasa putus asa, ia tahu ia tidak bisa berhenti. Ia harus bertahan, harus terus menyembuhkan mereka, karena ini adalah satu-satunya cara ia bisa membantu, satu-satunya cara ia bisa membuat perbedaan.

Ari bangkit perlahan, meskipun tubuhnya lelah dan luka-lukanya belum sembuh. Dengan napas berat, ia menggerakkan tangannya, dan Basic Heal kembali aktif. Setiap kali ia merawat luka-luka yang semakin parah, ia merasa tubuhnya semakin lelah. Namun, hatinya mulai dipenuhi dengan tekad. Ia tidak bisa berhenti, tidak bisa menyerah begitu saja.

"Aku... harus terus bertahan," bisiknya, memandang tubuh teman-temannya yang terluka. "Jika ini cara aku bisa membantu... maka aku akan terus bertarung dengan cara ini."

Dan begitu, di tengah perang yang hampir hancur, Ari menemukan secercah harapan dalam dirinya. Bahkan jika ia hanya bisa bertahan dan memberikan yang terbaik dalam perannya, ia tahu bahwa Basic Heal adalah satu-satunya alasan mereka bisa tetap hidup. Meski tak ada jaminan kemenangan, Ari tetap memilih untuk bertahan, melawan rasa putus asa dan terus memberi yang terbaik—karena terkadang, keberanian itu datang bukan dari pertempuran besar, tetapi dari kemampuan untuk tetap berdiri, meski dunia terasa hancur di sekitar kita.


Chapter 12: Kekuatan Tersembunyi

Ketika Ari melihat para pahlawan bertempur dengan susah payah, ada rasa aneh yang muncul dalam dirinya. Ia bisa merasakan perbedaan besar antara dirinya dan mereka. Selama ini, ia hanya fokus pada satu hal—bertahan hidup dan melatih kemampuan penyembuhannya. Tapi kini, sesuatu yang tak terduga terjadi. Semua rasa sakit yang ia alami, semua pertarungan yang ia hadapi sendirian, telah membuat tubuh dan pikirannya jauh lebih kuat dari yang ia bayangkan.

Ari yang dulu hanya bisa menyembuhkan, kini merasa energinya meluap. Tubuhnya terasa lebih kuat, otot-ototnya lebih padat, dan refleksnya jauh lebih cepat. Setiap serangan yang diterima—entah itu dari monster atau manusia—sekarang langsung sembuh berkat kemampuan Basic Heal yang telah berkembang menjadi Auto Heal. Tanpa disadari, ia telah melampaui batas fisik manusia biasa.

Melihat para pahlawan yang seharusnya menjadi pemimpin dalam pertempuran ini kini kesulitan, Ari merasa terdorong untuk bergerak maju. Dengan tekad yang membara, ia melangkah ke medan perang, tanpa senjata, hanya dengan tangan kosong.

Dengan gerakan cepat, Ari menghantam barisan pasukan musuh. Setiap tinju yang dilepaskan terasa seperti ledakan kekuatan yang memporak-porandakan pasukan iblis yang datang menghadangnya. Pasukan musuh yang awalnya terlihat seperti ancaman besar, kini hanya bisa terjatuh dengan sekali pukulan dari Ari. Ia memukul mereka satu per satu, menghancurkan pasukan dengan kekuatan luar biasa yang bahkan para pahlawan terkuat sekalipun tidak bisa tandingi.

"Ini... tidak mungkin!" seru salah satu pahlawan yang terkejut melihat Ari begitu mudah mengalahkan musuh.

Ia melanjutkan, menyerang tanpa henti, mengalahkan satu pasukan demi satu pasukan. Setiap serangan yang ia terima sembuh dengan cepat, seakan tubuhnya terbuat dari baja. Pasukan musuh yang semula mengira Ari adalah seorang healer biasa, kini mulai merasakan betapa menakutkannya sosok ini. Mereka tidak hanya menghadapi seorang healer, tetapi seseorang yang bisa mengalahkan mereka dengan kekuatan fisik yang luar biasa.

Lalu, Ari berhadapan dengan salah satu Jenderal Iblis. Jenderal itu tampak mengintimidasi, dengan kekuatan yang jauh lebih besar dari pasukan biasa. Namun, bagi Ari yang telah berlatih dengan penuh pengorbanan, ini bukanlah masalah. Dengan satu serangan telak, Ari mengirim Jenderal Iblis itu terbang ke belakang, menghancurkan tubuhnya dalam sekejap.

"Apa... apa yang terjadi dengan dia?" teriak seorang pahlawan, matanya terbelalak. Mereka tidak percaya dengan apa yang mereka saksikan.

Ari tidak peduli dengan perhatian yang tertuju padanya. Ia terus maju, melawan pasukan dan jenderal musuh, tanpa ragu. Semua musuh yang datang kepadanya, tanpa terkecuali, dihancurkan dengan tangan kosong. Dan setiap serangan yang diterimanya langsung sembuh, seolah ia tidak pernah terluka.

Kini, musuh-musuhnya mulai ketakutan. Mereka menyadari bahwa mereka menghadapi sosok yang jauh lebih kuat dari yang mereka kira. Bahkan Raja Iblis yang melihat dari kejauhan merasa ada yang aneh dengan situasi ini. Musuh yang semula mereka anggap tidak lebih dari seorang healer lemah, kini menjadi ancaman besar.

Raja Iblis, yang sejak awal merasa yakin kemenangan akan mudah digenggam, merasa terancam oleh kekuatan yang tak terduga ini. Ia melihat Ari yang bergerak maju, menghancurkan pasukan satu per satu dengan ketenangan yang mengerikan.

Raja Iblis akhirnya tidak bisa menahan ketakutannya. Tanpa berkata apa-apa, ia mundur, melarikan diri dari medan pertempuran dengan kecepatan yang tidak terduga. Para pasukannya yang tersisa hanya bisa melihat, bingung dan terkejut dengan tindakan pemimpin mereka yang kabur begitu saja.

Ari berdiri di tengah medan pertempuran yang sepi. Tubuhnya penuh luka, tetapi luka itu cepat sembuh berkat kekuatan penyembuhan yang terus berkembang. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan yang tidak bisa ia jelaskan. Ia merasa tidak hanya sebagai seorang healer, tapi sebagai seseorang yang telah mengatasi batas dirinya.

Para pahlawan dan teman-temannya yang masih bertahan, kini menatap Ari dengan mata terbuka lebar. Mereka tidak lagi memandangnya sebagai orang yang lemah, tetapi sebagai pahlawan sejati. Ari yang dulu dianggap hanya bisa menyembuhkan kini menjadi penyelamat yang sesungguhnya, seorang pejuang yang tak terhentikan.

"Ari... bagaimana bisa?" tanya salah satu pahlawan yang masih terengah-engah. "Kau... begitu kuat."

Ari hanya tersenyum lemah, kelelahan namun puas. "Aku hanya melakukan apa yang perlu aku lakukan. Aku berlatih, bertahan hidup, dan berjuang untuk teman-temanku. Ini bukan tentang kekuatan luar biasa, tetapi tentang terus berjuang meskipun kita merasa lemah."

Mereka semua terdiam, mengagumi keberanian dan kekuatan Ari yang kini lebih besar dari yang mereka bayangkan. Dan di tengah pertempuran yang baru saja dimenangkan, Ari tahu bahwa perjalanan ini belum selesai. Raja Iblis masih ada, dan pertempuran besar masih menantinya.

Namun, dengan kekuatan yang telah ia temukan dalam dirinya, Ari tahu bahwa ia siap menghadapi apa pun yang akan datang.



Chapter 13: Pertarungan Akhir dan Pengorbanan

Setelah Raja Iblis kabur dari medan pertempuran, Ari tanpa ragu mengejarnya ke dalam benteng gelap di tengah hutan belantara. Dengan kecepatan dan stamina yang tampaknya tak terbatas, Ari menembus pertahanan terakhir benteng tersebut. Di dalam, ia berhadapan langsung dengan sosok Raja Iblis, yang tampak lebih besar, lebih mengintimidasi, dan memancarkan aura kematian yang menyesakkan.

Raja Iblis menatap Ari dengan heran sekaligus marah. "Bagaimana mungkin seorang manusia sepertimu bisa mengimbangi kekuatanku? Apa yang membuatmu bertahan hingga sejauh ini?"

Ari hanya menatap tanpa berkata-kata. Ia tahu jawabannya ada dalam usahanya selama ini—semua rasa sakit, pengorbanan, dan ketidakpastian. Tapi ini bukan waktunya untuk berdiskusi. Ia bersiap untuk bertarung.

Penjelasan Pengajar tentang Kekuatan Ari

Di sisi lain, para pahlawan dan pengajar yang tinggal di medan pertempuran mulai mendiskusikan apa yang sebenarnya terjadi pada Ari. Pengajar utama yang memandu misi tersebut akhirnya memberikan penjelasan:

“Ari bukanlah pahlawan pada awalnya, tapi dia melakukan sesuatu yang tidak terpikirkan oleh orang lain. Basic Heal miliknya adalah kemampuan biasa yang tidak dianggap penting. Namun, dengan terus-menerus menggunakannya, kemampuan itu berkembang menjadi sesuatu yang sangat efisien, bahkan menjadi auto-cast. Selain itu, kemampuan itu juga mengurangi kelelahan, membuat Ari tak perlu istirahat sama sekali.

"Tapi yang membuatnya benar-benar luar biasa adalah usahanya. Ari menghadapi monster demi monster, melatih tubuhnya tanpa bantuan senjata atau perlengkapan apa pun. Pertarungan tangan kosongnya yang terus menerus melatih kekuatan fisik, daya tahan, dan refleksnya hingga melampaui batas manusia. Namun, untuk mencapai ini, dia harus menahan rasa sakit yang luar biasa—rasa sakit yang bahkan bisa membuat nyawanya melayang. Ari telah melampaui semua batas yang pernah ada, bukan karena dia dipilih sebagai pahlawan, tetapi karena dia memaksa dirinya menjadi lebih kuat."

Mendengar ini, para pahlawan mulai merasa malu dengan diri mereka sendiri. Mereka sadar bahwa mereka terlalu bergantung pada kekuatan dan perlengkapan yang diberikan, sementara Ari melampaui mereka melalui perjuangan murni.

Pertarungan dengan Raja Iblis

Sementara itu, di dalam benteng gelap, pertarungan sengit antara Ari dan Raja Iblis dimulai. Raja Iblis melancarkan serangan mematikan, dari pukulan yang menghancurkan tanah hingga sihir yang membakar udara di sekeliling mereka. Ari, dengan tubuh yang terus terluka, menggunakan Auto Heal untuk menyembuhkan dirinya sendiri secepat ia terluka.

Namun, strategi Ari bukanlah menghindari serangan. Ia membiarkan tubuhnya diserang untuk memancing Raja Iblis mendekat. Setiap pukulan yang diterima mengantarkan rasa sakit yang luar biasa, tetapi Ari tetap bertahan. Dengan setiap kesempatan, ia melancarkan serangan balasan yang brutal—pukulan ke titik vital Raja Iblis yang perlahan melemahkan monster itu.

"Apa ini... manusia seperti apa kau?!" Raja Iblis berteriak, darah hitam mengalir dari luka-lukanya.

"Seseorang yang tidak menyerah," jawab Ari, sambil melancarkan pukulan terakhir ke dada Raja Iblis, menghancurkan inti kekuatannya. Dengan jeritan terakhir, Raja Iblis runtuh dan menghilang dalam ledakan cahaya gelap.

Kembali ke Dimensi Asal

Setelah pertarungan usai, dunia isekai mulai bergetar. Portal yang menghubungkan dunia tersebut dengan dimensi asal mereka terbuka, menarik semua yang terlibat kembali ke ruangan di kampus. Para pahlawan, pengajar, dan Ari kembali berdiri di tempat mereka pertama kali dipanggil, seolah tidak ada yang berubah.

Namun, ada perasaan berbeda di udara. Para pahlawan memandang Ari dengan penghormatan baru. Mereka tahu bahwa kemenangan itu berkat Ari, seseorang yang tidak dianggap penting pada awalnya.

Pengajar kemudian menjelaskan bahwa setiap pahlawan yang berhasil menyelesaikan misi akan menerima kompensasi besar berupa uang yang cukup untuk hidup nyaman seumur hidup mereka. Ari yang mendengar ini hanya bisa tercengang. Ia tidak pernah membayangkan ada hadiah seperti itu.

"Tunggu, jadi aku juga mendapatkan kompensasi ini?" Ari bertanya, masih belum percaya.

Pengajar tersenyum kecil. "Kau mungkin bukan pahlawan pilihan, tapi usahamu jauh melampaui siapa pun di sini. Kau layak mendapatkannya."

Ari akhirnya tersenyum. Perjalanannya yang penuh perjuangan, rasa sakit, dan pengorbanan kini dihargai, meskipun itu bukanlah alasan utamanya untuk bertarung. Baginya, pengalaman itu telah membentuknya menjadi seseorang yang lebih kuat, tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara mental dan emosional.

Meskipun kembali ke kehidupan biasa, Ari tahu bahwa ia telah menjadi seseorang yang luar biasa—seorang pahlawan sejati, bukan karena peran yang diberikan kepadanya, tetapi karena usahanya sendiri.

Jumat, 15 November 2024

Pasutri Baru di Desa Konoha

**Bab 1: Dunia yang Tak Terduga**


Pagi itu, Galih terbangun dengan rasa bingung yang luar biasa. Matanya terbuka lebar, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya matahari yang masuk dari jendela kecil. Tubuhnya terasa berbeda—lebih ringan, lebih energik—dan ada sesuatu yang sangat tidak familiar dengan lingkungan sekitarnya. 


Dia mendapati dirinya berada di sebuah kamar kecil yang sederhana, yang bahkan lebih kecil daripada kamar tidurnya di rumah. Dengan cepat, Galih bangkit dari tempat tidur dan melangkah ke cermin. Namun, yang dia lihat bukanlah wajah dirinya yang biasa. Yang ada di hadapannya adalah wajah seorang anak laki-laki dengan rambut pirang berantakan dan mata biru cerah yang sangat khas.


"Ini... ini... aku di tubuh Naruto?" Galih bergumam, matanya terbelalak. Memori tentang cerita *Naruto* yang pernah ia tonton bertahun-tahun lalu mengalir deras dalam pikirannya. Dia tahu persis siapa orang yang sedang dia lihat di cermin. Tiba-tiba, sebuah kekuatan luar biasa mengalir ke seluruh tubuhnya. Tubuh Naruto yang dulu lemah dan sering terpinggirkan, kini terasa lebih energik, penuh semangat, dan lebih kuat.


Galih memegang kepalanya yang terasa ringan, memikirkan langkah-langkah yang akan diambilnya. "Kalau aku bisa menggunakan pengetahuanku tentang dunia ini, mungkin aku bisa mengubah takdirku di sini," pikirnya, senyuman tipis muncul di wajahnya.


Dengan kecerdasan dan pengetahuan yang ia bawa dari dunia asalnya, Galih segera menyusun rencana. Dia tidak akan lagi menjadi Naruto yang sering kalah atau ditertawakan orang lain. Dia akan menggunakan pengetahuannya tentang cerita *Naruto* untuk mengubah segalanya—menjadi lebih cerdas, lebih kuat, dan tak terkalahkan. Lagipula, kenapa tidak? Ini adalah kesempatan langka yang tak bisa disia-siakan.


Sementara itu, di tempat lain, Feni juga terbangun dengan kebingungan yang serupa. Tubuhnya terasa asing, dan saat ia melihat cermin, ia menyadari bahwa ia kini berada di dalam tubuh Hinata Hyuga, salah satu karakter dari dunia *Naruto*. Feni tahu betul siapa Hinata—seorang gadis yang pemalu, lembut, dan sering terjebak dalam rasa canggung. Namun, Feni bukanlah tipe orang yang pemalu. Ia adalah wanita yang berani dan percaya diri, jauh berbeda dengan Hinata yang selalu merasa minder.


"Bagaimana bisa aku ada di tubuhnya?" Feni bertanya pada dirinya sendiri. Ia merasa kebingungan dan tidak tahu harus berbuat apa. Namun, ia memutuskan untuk tetap tenang. "Aku tahu cerita *Naruto*... jadi aku harus bisa beradaptasi dengan cepat."


Di sepanjang hari, Feni mencoba beradaptasi dengan tubuh Hinata, meskipun kadang-kadang ia merasa canggung dengan sifat Hinata yang terlalu pemalu. Namun, seiring berjalannya waktu, perubahan sikapnya yang lebih berani mulai menarik perhatian orang-orang di sekitarnya.


Begitu pula dengan Galih, yang kini berperan sebagai Naruto. Karena pengetahuannya yang jauh lebih maju tentang dunia *Naruto*, ia mulai menunjukkan kemampuan yang luar biasa. Namun, hal tersebut justru membuat orang-orang terheran-heran. Perubahan sikap Naruto yang lebih cerdas dan kuat membuatnya tampak aneh, dan rumor mulai berkembang.


"Hei, apakah kalian melihat perubahan Hinata?" salah satu teman sekelas Naruto bertanya. "Dia tampaknya berbeda hari ini. Lebih... berani, tidak seperti biasanya."


Naruto yang kini diperankan oleh Galih mendengar rumor tersebut dan merasa penasaran. Dia tahu bahwa Hinata selalu menyukai dirinya, meskipun ia selalu tampak malu-malu di hadapannya. Dengan rasa ingin tahu yang besar, Galih memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang perubahan ini.


Di sisi lain, Feni mendengar bahwa ada rumor tentang Naruto yang juga berubah. Sebagai Hinata, ia merasa penasaran. Meskipun ia tidak tahu bahwa suaminya kini berada dalam tubuh Naruto, instingnya memberitahunya bahwa pertemuan ini akan menarik. 


Akhirnya, setelah beberapa hari berlalu, nasib mempertemukan mereka. Tanpa mereka ketahui, yang mereka hadapi adalah pasangan hidup mereka sendiri, namun dalam wujud yang sama sekali berbeda. Galih ingin bertemu dengan Hinata yang pemalu, sedangkan Feni ingin menemui Naruto yang penuh semangat. Mereka mendekat satu sama lain, tanpa mengetahui siapa yang sebenarnya ada di depan mereka.


Ketika mata mereka saling bertemu, Galih merasa ada sesuatu yang berbeda, dan Feni pun merasakan hal yang sama. Namun, keduanya masih belum menyadari bahwa yang mereka hadapi adalah suami/istri mereka yang hilang dalam dunia yang tak terduga ini.


Akhirnya, langkah pertama menuju pertemuan tak terelakkan dimulai.

**Bab 2: Awal yang Membingungkan**


Naruto, atau Galih yang kini berada dalam tubuhnya, berdiri di sebuah taman kecil di Desa Konoha. Angin sepoi-sepoi berhembus, membawa aroma pepohonan dan bunga yang segar. Ia menunggu, mencoba menenangkan dirinya dari rasa penasaran yang tak kunjung reda sejak mendengar rumor tentang perubahan Hinata. 


“Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi,” pikir Galih. Dalam cerita aslinya, Hinata selalu malu-malu dan cenderung menghindari kontak langsung dengannya. Tapi kali ini, sesuatu terasa berbeda, dan Galih tidak bisa mengabaikan rasa ingin tahunya.


Di sisi lain, Hinata—atau Feni—juga sedang melangkah dengan hati yang penuh kebingungan. Selama beberapa hari terakhir, Feni merasa dirinya terbawa dalam permainan peran yang sulit dipahami. Bagaimana tidak? Semua orang di sekitarnya menganggapnya sebagai Hinata Hyuga, tetapi ia tetap merasa dirinya adalah Feni, seorang wanita modern dengan kepribadian jauh dari sosok gadis pemalu.


“Apa yang salah dengan Naruto?” pikir Feni sambil berjalan. Naruto yang sekarang jauh lebih pintar dan strategis dibandingkan dengan ingatannya tentang karakter itu. Sikapnya yang tiba-tiba dewasa dan percaya diri membuat Feni penasaran. Ia ingin memastikan bahwa semua ini bukan sekadar kebetulan.


Dan kemudian, mereka bertemu. 


Di taman kecil itu, Galih melihat sosok Hinata berjalan mendekat. Cahaya matahari yang menembus dedaunan memperlihatkan rambut biru gelapnya yang tergerai rapi. Matanya yang berwarna lavender memandang lurus ke arahnya, sesuatu yang jarang ia temukan pada Hinata yang asli.


"Naruto-kun," sapa Feni, mencoba menyesuaikan diri dengan cara bicara Hinata, meskipun nada suaranya terdengar lebih tegas dari biasanya.


Galih tersentak sejenak. Suara Hinata terdengar berbeda—lebih percaya diri, lebih berani. Dia tidak langsung menjawab, hanya memandang Hinata dengan seksama. Dalam benaknya, Galih mencoba mencari tahu apakah ini benar-benar hanya perubahan biasa, atau ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi.


“Kau… tidak biasanya seperti ini, Hinata,” kata Galih akhirnya, mencoba terdengar seperti Naruto yang polos. “Apa sesuatu terjadi padamu belakangan ini?”


Feni tersenyum kecil, tetapi hatinya berdebar. “Haruskah aku menjawab jujur? Atau tetap berpura-pura?” pikirnya. Akhirnya, ia memutuskan untuk bermain aman.


“Tidak, aku hanya… mencoba lebih percaya diri,” jawab Feni, sambil menyembunyikan rasa gugup. Ia sadar bahwa Naruto yang di hadapannya terasa berbeda—lebih tajam dan cerdas. 


Galih memperhatikan ekspresi Hinata. Ada sesuatu yang tidak biasa. Hinata yang ia kenal dalam cerita *Naruto* tidak pernah berbicara seberani ini, apalagi dengan kontak mata yang begitu langsung. Namun, Galih tetap menahan diri untuk tidak terlalu mencurigai.


"Kalau begitu, baguslah!" jawab Galih dengan semangat, mencoba mengimbangi perannya sebagai Naruto. "Kita semua harus jadi lebih kuat, kan? Aku juga sedang berusaha keras supaya bisa menjadi Hokage suatu hari nanti."


Feni mengangguk pelan, tetapi dalam hatinya ia bingung. Galih yang ada dalam tubuh Naruto ini terasa terlalu percaya diri dan penuh strategi. Naruto dalam cerita aslinya selalu tampak ceroboh, meskipun bersemangat. Apakah ada orang lain yang mengalami hal aneh seperti dirinya?


Ketegangan di antara mereka semakin terasa. Galih dan Feni, tanpa menyadari siapa sebenarnya orang yang berdiri di depan mereka, mulai mencoba mencari tahu lebih banyak. Tapi mereka berdua tahu bahwa ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang sulit dijelaskan.


“Hinata,” kata Galih tiba-tiba, memecah keheningan. “Apa kau merasa dunia ini… aneh?”


Feni menatap Galih dengan mata yang penuh tanda tanya. "Apa maksudmu, Naruto-kun?"


Galih menggaruk kepalanya, mencari cara untuk menjelaskan tanpa terlalu mencurigakan. “Yah… aku merasa seperti banyak hal yang tidak seperti biasanya. Seperti… aku punya mimpi aneh belakangan ini.”


Feni terdiam. Ia tahu bahwa percakapan ini mengarah pada sesuatu yang lebih besar. "Aku juga merasa aneh," gumamnya dalam hati, tetapi ia tetap memilih untuk tidak terlalu banyak bicara.


Namun, sebelum Galih bisa melanjutkan, suara seorang ninja dari kejauhan memanggil. “Naruto! Hinata! Guru Iruka mencarimu di akademi!”


Galih dan Feni saling pandang, menyadari bahwa pertemuan mereka harus dihentikan sementara. Namun, saat mereka berbalik untuk pergi, perasaan aneh terus mengganjal di hati masing-masing.


Saat Galih melangkah pergi, ia menoleh sekali lagi ke arah Hinata. Dalam hati, ia berpikir, “Apa mungkin dia juga seperti aku? Apa mungkin ada seseorang lain dari dunia asalku yang terjebak di sini?”


Dan Feni, yang berjalan menjauh, merasa jantungnya berdegup kencang. “Apa Naruto ini sebenarnya... Galih?” pikirnya tanpa sadar.


Namun, mereka tetap melangkah dengan pikiran masing-masing, tanpa tahu bahwa kebenaran sudah begitu dekat, hanya perlu satu langkah lagi untuk terungkap.


**Bab 3: Awal Perubahan Besar**


Galih, yang kini berada di tubuh Naruto, tidak ingin mengulang kesalahan yang ia ketahui dari cerita aslinya. Meski tubuhnya kecil dan muda, pikirannya tetaplah seorang pria dewasa yang memahami pentingnya strategi, kedisiplinan, dan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Jika Naruto versi aslinya menghabiskan waktu untuk usil dan ceroboh, Galih memilih jalan berbeda: ia akan menjadi yang terkuat dengan cara yang paling efektif.


Setelah pertemuan singkat dengan Hinata, Galih mulai merencanakan langkah-langkah yang akan diambilnya. Ia menyadari bahwa hubungan antar karakter di cerita ini adalah kunci penting. Salah satu yang paling krusial adalah hubungannya dengan Sasuke Uchiha. Dalam cerita aslinya, Naruto dan Sasuke terjebak dalam persaingan dan konflik yang akhirnya memisahkan mereka. Galih tidak ingin itu terjadi. 


"Kalau aku bisa berteman baik dengan Sasuke sejak awal, aku bisa mencegah dia meninggalkan desa," pikir Galih. "Dan aku juga harus membuatnya merasa dihargai, bukannya terpojok seperti di cerita aslinya."


Di hari berikutnya, Galih memutuskan untuk memulai langkah pertamanya. Di akademi ninja, ia mendekati Sasuke yang sedang duduk sendirian, menatap langit dengan ekspresi dingin seperti biasanya.


"Hai, Sasuke," sapa Galih dengan santai, mencoba tidak terlihat terlalu mencurigakan. 


Sasuke melirik ke arahnya dengan alis yang sedikit terangkat. "Apa yang kau mau, Naruto?"


Galih tersenyum kecil. "Aku tahu kau lebih kuat dariku sekarang, tapi bagaimana kalau kita saling membantu? Aku bisa belajar banyak darimu, dan mungkin... aku juga bisa membantumu dalam beberapa hal."


Sasuke terdiam sejenak, lalu menyipitkan mata. "Kenapa kau tiba-tiba berubah? Biasanya kau hanya membuat kekacauan."


"Karena aku ingin menjadi lebih baik," jawab Galih jujur. "Kita sama-sama punya mimpi besar, kan? Aku ingin jadi Hokage, dan aku tahu kau punya sesuatu yang ingin kau capai juga. Kenapa kita tidak bekerja sama saja?"


Sasuke tidak langsung menjawab, tetapi ada sesuatu di nada bicara Galih yang membuatnya penasaran. "Kita lihat saja nanti," jawab Sasuke akhirnya, dengan nada yang setengah enggan tetapi tidak menutup kemungkinan.


Sementara itu, Feni—yang berada dalam tubuh Hinata—juga mulai merasa lebih nyaman dengan perannya. Ia menyadari bahwa Hinata memiliki potensi yang luar biasa jika diberi dorongan yang tepat. Feni mulai memanfaatkan waktu untuk melatih diri secara diam-diam. Ia juga merasa semakin sering mendekati Naruto, karena ada kecocokan alami yang tidak bisa ia abaikan. 


Naruto yang kini diperankan Galih, menyadari bahwa Hinata terasa lebih terbuka dan tidak segan untuk berbicara. Awalnya, Galih mendekatinya hanya untuk mencari tahu apakah Hinata benar-benar menyukainya seperti di cerita asli. Namun, semakin lama mereka berbicara, semakin ia merasa bahwa ada kenyamanan yang sulit dijelaskan. Hinata bukan hanya sekadar teman atau sekutu; dia seperti pasangan yang cocok dalam setiap aspek.


"Naruto-kun, kenapa kau tiba-tiba terlihat begitu serius dengan latihanmu?" tanya Feni suatu hari saat mereka duduk di bawah pohon setelah pelatihan.


Galih tersenyum, lalu menjawab, "Karena aku tahu, kalau aku tidak serius, aku tidak akan pernah bisa melindungi orang-orang yang aku sayangi."


Feni menatapnya, teringat bahwa suaminya di dunia asal juga sering berkata seperti itu. Hatinya berdebar pelan, tetapi ia menahannya. Ia tidak bisa mengungkapkan hal yang terlalu mencurigakan. 


Di sisi lain, perubahan pada Naruto mulai menarik perhatian Iruka dan teman-temannya. Dalam beberapa minggu, Naruto yang dulu ceroboh berubah menjadi siswa yang paling rajin. Dia memanfaatkan waktu luangnya untuk mengasah jurus-jurus dasar seperti *bunshin no jutsu* dan *taijutsu*, tetapi dengan pendekatan yang lebih strategis. Galih tahu bahwa kekuatan Naruto bukan hanya pada semangatnya, melainkan juga pada potensinya sebagai jinchūriki.


Di waktu yang sama, Galih mulai membangun hubungan yang lebih erat dengan Sasuke. Ia tidak hanya belajar darinya, tetapi juga memberikan dukungan emosional secara tidak langsung. Ketika Sasuke merenung tentang keluarganya, Galih mendengarkan tanpa banyak bicara. Ia tahu bahwa Sasuke butuh seseorang yang peduli tanpa menghakimi.


"Kalau kau butuh bantuan, aku di sini," kata Galih suatu malam setelah latihan.


Sasuke memandangnya dengan tatapan kosong, tetapi dalam hatinya ia merasa ada sesuatu yang berbeda. Naruto yang ini... tidak seperti Naruto yang ia kenal sebelumnya.


Hubungan Galih dengan Feni—atau Hinata—juga semakin berkembang. Mereka mulai saling berbicara lebih sering, berbagi pikiran, dan bahkan melatih jurus bersama. Bagi Galih, Hinata yang ini terasa lebih dewasa dan berani, sesuatu yang membuatnya semakin kagum. Bagi Feni, Naruto yang ini mengingatkannya pada suaminya sendiri—cerdas, penuh perhatian, dan memiliki visi yang jelas.


---


Namun, perubahan mereka tidak luput dari perhatian pihak lain. Di tempat lain, Orochimaru yang selalu mengawasi perkembangan Sasuke mulai curiga. "Naruto Uzumaki... dia bukan bocah biasa lagi," gumam Orochimaru. "Dan Hinata Hyuga... perubahan mereka bisa menjadi ancaman bagi rencanaku."


Naruto dan Hinata, meski tidak menyadari bahaya yang mengintai, terus melangkah maju. Tapi jalan baru yang mereka pilih kini telah menarik perhatian musuh-musuh kuat, dan masa depan Konoha pun perlahan mulai berubah.


**Bab 4: Jenius dari Konoha**


Hari ujian kelulusan di Akademi Ninja tiba. Semua siswa berkumpul di aula besar, duduk gelisah sambil menunggu giliran. Naruto yang kini diperankan oleh Galih duduk dengan tenang di bangkunya, sambil menyusun rencana dalam pikirannya. Ia tahu ujian ini adalah langkah awal untuk mengubah cara orang-orang memandang dirinya. Di cerita aslinya, Naruto sering dianggap sebagai bocah ceroboh dan lemah. Namun, kali ini, ia akan membuat semua orang terkesan.


“Baiklah, Naruto Uzumaki. Giliranmu,” panggil Iruka-sensei.


Naruto bangkit dan melangkah ke depan dengan percaya diri. Semua mata tertuju padanya. Sebagian besar dari mereka mengira Naruto akan gagal lagi, seperti biasanya. Namun, Naruto hanya tersenyum kecil. 


Ia memulai dengan *bunshin no jutsu*. Dalam cerita aslinya, Naruto kesulitan menguasai jurus ini, tetapi kali ini, dengan pemahaman mendalam tentang chakra dan kontrol yang telah ia latih, ia menciptakan lebih dari sepuluh bayangan sempurna. Aula terdiam. Bahkan Iruka terkejut melihat kemampuan itu.


“Keren!” teriak Kiba dari belakang, sementara teman-teman lainnya mulai berbisik kagum. 


Naruto melanjutkan dengan teknik tambahan yang tidak diharapkan: *henshin no jutsu* yang sempurna dan *substitution jutsu* dengan kecepatan luar biasa. Ketika ia selesai, aula meledak dengan tepuk tangan. 


Iruka tersenyum lebar. “Naruto Uzumaki... Lulus dengan nilai tertinggi!”  


---


**Naruto: Dari Ejekan Menjadi Pengakuan**  


Hari itu menjadi momen penting bagi Naruto. Tidak hanya teman-teman sekelasnya, tetapi juga guru-gurunya mulai memandangnya dengan rasa hormat yang baru. Bahkan Sasuke, yang biasanya cuek, tidak bisa mengabaikan perubahan Naruto.


“Sasuke,” kata Naruto suatu sore saat mereka berlatih bersama. “Bagaimana kalau kita bertarung? Hanya untuk melihat seberapa jauh kita bisa berkembang.”


Sasuke menyipitkan matanya, sedikit tersenyum. “Kau sudah cukup percaya diri, ya? Baiklah, tapi jangan menangis kalau kalah.”  


Pertarungan itu menarik perhatian banyak siswa. Naruto yang cerdas dan terlatih mampu mengimbangi kecepatan dan kekuatan Sasuke. Meski pertarungan berakhir seri, Sasuke akhirnya mengakui Naruto.


“Kau... sudah berubah. Kau bukan Naruto yang dulu,” kata Sasuke dengan nada datar. “Tapi aku suka Naruto yang ini.”


Naruto hanya tersenyum, tahu bahwa ini adalah langkah awal dari hubungan pertemanan yang ia harapkan. Namun, dalam hatinya, ia tahu bahwa ada tugas yang lebih besar menantinya: memberi tahu Sasuke tentang kebenaran Itachi.


---


**Menyelidiki Itachi Uchiha**  


Galih menyadari bahwa masalah utama yang membuat Sasuke meninggalkan Konoha adalah kesalahpahaman tentang kakaknya, Itachi. Dalam cerita asli, Sasuke dibakar oleh dendam dan manipulasi Orochimaru. Jika ia ingin mencegah tragedi itu, ia harus mencari cara untuk memberi tahu Sasuke kebenarannya tanpa membahayakan hubungan mereka.  


Naruto mulai membaca segala hal yang ia bisa temukan tentang klan Uchiha, baik melalui buku maupun percakapan diam-diam dengan para ninja senior. Ia juga mendekati Kakashi, yang ia tahu memiliki hubungan mendalam dengan Sasuke. 


“Kakashi-sensei, apa kau tahu kenapa Itachi benar-benar membantai klannya?” tanya Naruto suatu malam saat mereka sedang latihan.


Kakashi terdiam sejenak, lalu menatap Naruto dengan serius. “Kenapa kau ingin tahu? Itu bukan urusanmu.”


Naruto mengangguk, mencoba terdengar tulus. “Aku hanya ingin membantu Sasuke. Aku tahu dia menderita karena itu, dan aku ingin dia tahu kebenarannya.”


Kakashi menghela napas, tampak ragu. “Itachi... adalah pahlawan yang tidak pernah diakui. Dia melakukannya untuk melindungi desa ini. Tapi itu bukan hal yang bisa dengan mudah kau jelaskan pada Sasuke.”


Naruto mencatat informasi itu dalam pikirannya. “Kalau begitu, aku harus menemukan cara lain,” pikirnya.  


---


**Menghadapi Sasuke**  


Di sebuah sore, Naruto mendekati Sasuke di atas bukit tempat mereka biasa berlatih. Matahari hampir terbenam, membuat bayangan panjang mereka tampak menyatu. 


“Sasuke,” panggil Naruto. 


“Apa lagi?” jawab Sasuke sambil duduk bersandar di sebuah batu besar.


Naruto duduk di sebelahnya. “Aku tahu kau ingin balas dendam pada Itachi. Tapi, apa kau pernah bertanya kenapa dia melakukan itu?”


Sasuke menoleh tajam. “Tentu saja. Dia melakukannya karena dia monster! Dia membantai keluargaku, seluruh klan kami. Tidak ada alasan yang bisa membenarkan itu.”


Naruto menggeleng pelan. “Bagaimana kalau aku bilang... dia punya alasan yang sangat kuat? Sesuatu yang bahkan kau mungkin tidak tahu?”


Sasuke berdiri, matanya dipenuhi amarah. “Apa maksudmu? Kau mencoba membela dia?”


“Bukan,” jawab Naruto dengan tenang. “Aku hanya ingin kau tahu kebenaran. Itachi tidak seperti yang kau pikirkan.”


“Kau tidak tahu apa-apa!” teriak Sasuke. “Jangan bicara tentang keluargaku seolah kau mengerti!”  


Naruto berdiri, menatap Sasuke dengan penuh tekad. “Aku tidak tahu, tapi aku peduli. Kau adalah temanku, Sasuke. Dan aku tidak ingin melihatmu menghancurkan dirimu sendiri hanya karena kau tidak tahu seluruh ceritanya.”


---



Sasuke terdiam, kata-kata Naruto mulai menusuk ke hatinya. Namun, amarah dan rasa sakit yang selama ini ia pendam membuatnya tidak mudah menerima itu.


“Kau tidak tahu apa yang kau bicarakan,” kata Sasuke akhirnya, suaranya bergetar.


Naruto tersenyum kecil. “Kalau kau tidak percaya padaku sekarang, itu tidak masalah. Tapi aku akan menemukan cara untuk membuktikannya. Aku akan membuktikan bahwa Itachi bukan musuhmu.”


Sasuke menatap Naruto dengan campuran kebingungan dan rasa penasaran. Untuk pertama kalinya, ia mulai meragukan kebenciannya sendiri. Tapi sebelum ia bisa mengatakan apa-apa, Naruto melangkah pergi, meninggalkan Sasuke sendirian dengan pikirannya. 


Di kejauhan, Orochimaru yang mengamati Sasuke dari bayang-bayang tersenyum sinis. “Sepertinya anak Uzumaki itu lebih dari sekadar bocah nakal. Tapi, bisakah dia mengubah takdir Uchiha? Kita lihat saja nanti...”


**Bab 5: Kejeniusan yang Mencurigai**  


Shikamaru Nara adalah orang yang jarang memperhatikan hal-hal kecil, kecuali jika ia merasa ada sesuatu yang benar-benar menarik. Dalam beberapa minggu terakhir, perubahan Naruto dan Hinata menarik perhatiannya. Naruto, si bocah ceroboh yang selalu menjadi bahan ejekan, tiba-tiba berubah menjadi seorang ninja berbakat dengan tingkat kecerdasan dan kedewasaan yang mengagumkan. Begitu pula dengan Hinata, yang dulu dikenal pemalu, kini lebih percaya diri dan berani.  


Di tengah malam, Shikamaru duduk di atap rumahnya, menatap langit penuh bintang sambil memutar-mutar pion catur di tangannya.  


“Semua ini... terlalu tidak biasa,” gumamnya.  


Ia mulai menyusun kepingan-kepingan puzzle. Naruto kini melampaui Sasuke dalam hal strategi. Hinata menjadi jauh lebih vokal dan aktif dalam perannya sebagai ninja Hyuga. Ada sesuatu yang berbeda, dan Shikamaru tahu bahwa perubahan seperti ini tidak terjadi begitu saja.  


Namun, ia juga tidak melihat ada bahaya dari perubahan mereka. Sebaliknya, Naruto dan Hinata membawa pengaruh positif bagi tim mereka dan bahkan desa. Shikamaru memutuskan untuk menyelidiki lebih jauh, bukan untuk membongkar mereka, tetapi untuk memahami dan, jika diperlukan, membantu.  


---


**Naruto dan Hinata: Berteman dengan Shikamaru**  


Naruto sedang duduk di lapangan pelatihan, merenungkan langkah berikutnya. Setelah percakapan berat dengan Sasuke, ia tahu tugasnya semakin sulit. Meskipun Sasuke tidak langsung percaya, Naruto yakin bahwa temannya itu mulai meragukan kebenciannya sendiri. Tapi langkah selanjutnya? Itu yang sulit.  


“Pikiranku ini terus dipenuhi strategi, tapi aku butuh pendapat lain,” pikir Naruto.  


“Yo, Naruto,” suara santai Shikamaru tiba-tiba memecah keheningan.  


Naruto menoleh dan melihat Shikamaru berjalan mendekat, dengan tangan diselipkan ke dalam saku. “Kau terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat. Tumben.”  


Naruto tertawa kecil, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. “Hanya memikirkan cara untuk menjadi lebih kuat.”  


Shikamaru duduk di sebelahnya dan menguap. “Kau tahu, Naruto, aku telah memperhatikanmu. Dan Hinata juga. Kau berdua... berubah. Tapi itu bukan hal buruk.”  


Naruto membeku sejenak. “Apa maksudmu?”  


Shikamaru melanjutkan dengan nada datar, tetapi matanya meneliti setiap gerakan Naruto. “Kau bukan Naruto yang dulu. Kau lebih cerdas, lebih terorganisir, dan... cara berpikirmu tidak seperti anak seusiamu. Hinata juga. Dia lebih tegas, lebih mandiri.”  


Naruto mencoba tersenyum santai, tetapi Shikamaru menambahkan, “Jangan khawatir, aku tidak berniat membongkar rahasia kalian. Aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.”  


Naruto terdiam, mencoba merumuskan jawaban. Tapi sebelum ia bisa menjawab, Shikamaru melanjutkan.  


“Bagaimanapun juga, apa pun yang terjadi, kalian berdua membawa banyak hal baik ke desa ini. Aku hanya ingin memastikan bahwa aku bisa membantu kalian, kalau-kalau ada sesuatu yang terlalu rumit untuk kalian tangani sendiri.”  


Naruto akhirnya mengangguk, merasa lega dengan respons Shikamaru. “Terima kasih, Shikamaru. Kau benar-benar jenius, ya?”  


Shikamaru tersenyum kecil. “Itu sudah jelas.”  


---


**Hinata dan Shikamaru: Pertemuan Tak Terduga**  


Sementara itu, Feni yang ada dalam tubuh Hinata, sedang berlatih mengontrol chakra di halaman keluarga Hyuga. Meski ia bukan Hinata asli, ia mulai terbiasa dengan kemampuan klan ini dan terus meningkatkan tekniknya. Tapi kali ini, ia merasa seperti sedang diawasi.  


“Aku tahu kau ada di sana, Shikamaru,” katanya tanpa menoleh.  


Shikamaru muncul dari balik pohon, mengangkat tangannya sebagai tanda tidak berbahaya. “Wow, kau bahkan lebih tajam sekarang, Hinata. Aku suka yang seperti ini.”  


Hinata menoleh, menatapnya dengan alis terangkat. “Apa maksudmu?”  


“Hal yang sama seperti yang kubilang ke Naruto. Kau berubah. Tapi aku pikir itu hal yang baik,” kata Shikamaru sambil berjalan mendekat.  


Hinata terdiam, mencoba menilai apakah Shikamaru adalah ancaman atau sekutu. Namun, setelah berbicara dengannya selama beberapa menit, ia menyadari bahwa Shikamaru hanya ingin membantu.  


“Kalau kau butuh seseorang untuk berpikir strategis, kau bisa mengandalkanku,” kata Shikamaru akhirnya sebelum pergi. “Naruto sudah membuatku berpikir keras, dan aku yakin kau juga punya rencana besar.”  


Hinata tersenyum kecil. “Terima kasih, Shikamaru.”  


---


**Cerita Utama: Sasuke dan Kebenaran Itachi**  


Naruto akhirnya menyusun rencana untuk membawa Sasuke lebih dekat pada kebenaran. Ia mendekati Kakashi dan meminta bantuannya.  


“Kakashi-sensei, aku butuh misi khusus. Aku ingin pergi ke tempat di mana aku bisa menemukan bukti tentang Itachi,” kata Naruto.  


Kakashi terkejut, tetapi ia mulai memahami niat Naruto. “Ini akan sulit, Naruto. Tapi aku akan membantumu.”  


Dalam waktu singkat, Naruto dan tim kecil yang terdiri dari Kakashi, Shikamaru, dan Hinata, berangkat menuju lokasi rahasia di mana laporan tentang Itachi dan klan Uchiha disimpan. Namun, perjalanan mereka tidak mudah. Orochimaru, yang selalu mengawasi Sasuke, mencium rencana mereka dan mengirim pasukan untuk menghentikan mereka.  


Pertarungan sengit pun terjadi, dan Naruto menunjukkan perkembangan luar biasanya. Dengan bantuan Shikamaru yang menyusun strategi dan Hinata yang kini jauh lebih tangguh, mereka berhasil melawan pasukan Orochimaru.  


Namun, ketika mereka akhirnya tiba di lokasi tujuan, mereka menemukan sesuatu yang mengejutkan: sebuah pesan rahasia yang ditinggalkan oleh Itachi sendiri.  



Naruto memegang gulungan itu dengan tangan gemetar. “Ini... ini adalah buktinya,” gumamnya.  


Shikamaru menatapnya dengan serius. “Kita harus memastikan Sasuke melihat ini.”  


Tapi sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, suara Orochimaru terdengar dari bayang-bayang. “Kalian anak-anak benar-benar merepotkan. Tapi permainan ini belum selesai.”  


Mereka semua bersiap menghadapi musuh yang lebih besar, dengan kebenaran tentang Itachi menjadi taruhan yang harus mereka pertahankan.  


**Bab 6: Kebenaran yang Tersembunyi**  


Pertarungan dengan Orochimaru berlangsung sengit. Orochimaru, dengan senyum liciknya, menyerang tanpa ampun. Teknik-teknik berbisa dan ular-ular raksasa dikerahkannya untuk mengepung Naruto, Hinata, Shikamaru, dan Kakashi.  


Namun, Naruto yang kini dipenuhi oleh pengetahuan dari cerita asli, tidak panik. Ia tahu betapa berbahayanya Orochimaru, tetapi ia juga tahu kelemahan-kelemahannya.  


“Hinata, gunakan Byakugan untuk mencari celah di pertahanannya!” teriak Naruto.  


Hinata, yang juga Feni, segera mematuhi. Dengan kejelasan mata Byakugan, ia menemukan jalur untuk melarikan diri dari medan pertempuran. “Naruto! Arah jam tiga, ada celah!”  


“Shikamaru, tahan dia sebentar dengan bayanganmu!” Naruto memerintahkan tanpa ragu.  


Shikamaru memanfaatkan jurus *Kagemane no Jutsu* untuk memperlambat Orochimaru. Kakashi, meskipun sedikit bingung dengan ketenangan Naruto, mengikuti arahan tersebut dan melindungi mereka dari serangan.  


Akhirnya, mereka berhasil kabur dengan selamat, meskipun Orochimaru tampak puas melihat mereka pergi. “Kalian menarik,” katanya sambil tersenyum sinis. “Kita akan bertemu lagi.”  


---


**Kecurigaan Shikamaru**  


Setelah perjalanan yang penuh ketegangan, mereka berhenti di sebuah tempat persembunyian. Shikamaru menatap Naruto dan Hinata dengan serius.  


“Baiklah, sekarang aku ingin jawaban,” katanya sambil menyilangkan tangan.  


Naruto mencoba terlihat santai. “Jawaban tentang apa?”  


Shikamaru mendesah. “Kalian. Dari dulu aku merasa ada yang aneh. Saat ujian di akademi, kau tiba-tiba berubah menjadi jenius. Kau tahu segalanya tentang Sasuke dan Orochimaru, bahkan cerita tentang Itachi yang bahkan aku belum tahu. Hinata juga. Kalian berdua... seperti sudah tahu apa yang akan terjadi.”  


Hinata terdiam, mencoba menyusun jawaban. Sementara itu, Naruto merasa seperti tertangkap basah.  


“Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi,” lanjut Shikamaru, “tapi aku tahu satu hal: kalian berbeda. Tapi perubahan kalian adalah hal yang baik, jadi aku tidak akan mempermasalahkannya. Hanya saja... apa pun itu, kalian bisa mengandalkanku.”  


Naruto dan Hinata saling pandang. Shikamaru terlalu pintar untuk dibohongi.  


---


**Pertemuan Rahasia Naruto dan Hinata**  


Malam itu, Naruto dan Hinata memutuskan untuk berbicara berdua. Mereka duduk di atas bukit kecil yang menghadap desa, ditemani oleh bintang-bintang di langit.  


“Aku rasa... ini waktunya kita jujur satu sama lain,” kata Naruto sambil menghela napas.  


Hinata mengangguk. “Aku juga merasa begitu.”  


Naruto memulai lebih dulu. “Aku pernah bermimpi tentang dunia lain. Di sana, ada cerita tentang seorang anak bernama Naruto Uzumaki... Aku tahu segalanya tentang dia. Jalan hidupnya, perjuangannya, bahkan orang-orang di sekitarnya.”  


Hinata menatapnya dengan terkejut. “Aku juga begitu. Dunia itu... kita menyebutnya dunia nyata. Di sana, aku membaca cerita tentangmu. Tentang desa ini.”  


Naruto terdiam sejenak. “Kalau begitu, kita berasal dari dunia yang sama.”  


Hinata mengangguk, perlahan menyadari sesuatu. “Naruto... maksudku, siapa namamu di dunia nyata?”  


Naruto memutar otaknya. “Aku... Aku Galih. Dan kau? Siapa namamu?”  


Hinata tersenyum kecil. “Feni.”  


Naruto menatapnya dalam-dalam, rasa penasaran berubah menjadi kejutan. “Feni... jangan-jangan... kau istriku di dunia nyata?”  


Hinata membeku sejenak. Pikirannya berputar, mencoba mengingat momen-momen kecil yang terasa familiar. “Galih... itu kamu? Ayank?”  


Naruto, atau Galih, membulatkan matanya. “Ayank... itu kamu! Kita memang suami istri!”  


Keduanya terdiam, terkejut dengan kenyataan yang baru saja terbongkar.  


---


**Panggilan Sayang di Dunia Shinobi**  


Naruto dan Hinata saling menatap dengan campuran rasa kagum dan keheranan. Mereka akhirnya menyadari bahwa mereka adalah pasangan yang terlempar ke dunia Naruto, kini saling menemukan kembali dalam tubuh Naruto dan Hinata.  


“Ayank...” kata Naruto pelan, mencoba membiasakan diri.  


“Eh?” Hinata langsung memotong. “Tunggu! Kita nggak bisa manggil begitu di sini!”  


Naruto langsung tersadar, wajahnya memerah. “Iya, iya. Kalau ada yang dengar, kita bisa ketahuan.”  


Mereka berdua tertawa kecil, menyadari betapa anehnya situasi ini. Meskipun mereka kini berada di dunia yang berbeda, cinta dan koneksi mereka tetap sama.  


“Baiklah,” kata Naruto akhirnya. “Kita rahasiakan ini dari semua orang. Di dunia ini, kita tetap Naruto dan Hinata.”  


Hinata mengangguk. “Dan kita gunakan kesempatan ini untuk membuat dunia ini lebih baik. Bersama-sama.”  


---



Keesokan harinya, Naruto dan Hinata memutuskan untuk kembali fokus pada misi mereka. Namun, Orochimaru tampaknya tidak tinggal diam. Ia mengirimkan mata-matanya ke Konoha, berencana mengguncang kedamaian yang baru saja mulai terbangun.  


Naruto, dengan pengetahuannya tentang dunia ini, tahu bahwa ancaman besar akan segera datang. Namun, kali ini, ia tidak sendirian. Bersama Hinata, yang kini menjadi partner sejatinya, ia bertekad untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi.  


“Bersiaplah, Hinata,” kata Naruto sambil menggenggam tangannya.  


Hinata tersenyum. “Aku selalu siap, Gal—eh, Naruto.”  


Dan dengan itu, perjalanan baru mereka dimulai, dengan tekad untuk mengubah cerita dunia shinobi menjadi lebih baik.


**Bab 7: Mengubah Takdir, Menghadapi Masa Depan**  


Sasuke berdiri di depan Naruto, matanya yang penuh rasa kebencian terfokus pada gulungan yang ada di tangan sahabatnya itu. Selama ini, ia hanya mendengar tentang kakaknya, Itachi, melalui cerita-cerita yang dipenuhi kebencian dan dendam. Namun kini, dengan bukti yang ada di depan mata, kenyataan itu terasa lebih berat.


Naruto, dengan ketenangan yang luar biasa, mengulurkan gulungan itu kepada Sasuke. "Baca ini, Sasuke. Ini tulisan Itachi sendiri. Semua yang selama ini kau dengar tentang dia mungkin tidak sepenuhnya benar."


Sasuke memegang gulungan itu dengan tangan gemetar. Ia tahu, apa pun yang ada di dalamnya akan mengubah segalanya. Perlahan ia membuka gulungan itu dan mulai membaca. Setiap kata yang tertulis terasa berat baginya. Itu adalah pesan dari Itachi, yang menyatakan bahwa semua yang dilakukan, semua yang terjadi, bukan untuk kebencian, tetapi untuk melindungi Sasuke dan klan Uchiha dengan cara yang tragis.


Naruto mengamati Sasuke dengan cermat. "Itachi melakukan semua itu, bukan karena kebencian. Dia ingin kau hidup dengan bebas dari bayang-bayang klan dan kekuatan yang mereka miliki. Kau harus melepaskan dendam itu, Sasuke. Itu tidak akan membawa kebahagiaan."


Sasuke terdiam, membaca kata demi kata. Kebenciannya terhadap kakaknya yang selama ini membakar dirinya mulai surut, digantikan dengan kebingungannya. "Kenapa...? Kenapa dia harus melakukan semua ini?" gumamnya, suaranya penuh perasaan yang tak terungkapkan.


Naruto menepuk bahu Sasuke. "Aku tahu ini berat, tapi yang terpenting sekarang adalah bagaimana kita melanjutkan hidup kita, Sasuke. Jangan biarkan kebencian itu membutakanmu. Kita bisa berjuang bersama, sebagai sahabat."


Sasuke menatap Naruto dengan tatapan yang lebih lembut, akhirnya menyadari bahwa sahabatnya ini bukan hanya teman dalam pertempuran, tetapi seseorang yang benar-benar mengerti dan peduli.


---


**Mencegah Invasi: Perencanaan dengan Hinata**  


Setelah kejadian itu, Naruto dan Hinata kembali ke tempat yang lebih tenang, berbicara tentang apa yang akan datang. Mereka tahu, meskipun mereka berhasil mengubah jalannya takdir Sasuke, ancaman besar masih menanti. Invasi dari luar, yang pada akhirnya akan menghancurkan kedamaian di Konoha, tidak bisa dihindari begitu saja.  


"Naruto, aku khawatir dengan invasi yang akan datang," kata Hinata dengan serius, matanya menunjukkan kecemasan yang dalam. "Aku tahu kita harus siap menghadapi apa pun, tapi... aku merasa seperti kita terjebak dalam sebuah lingkaran yang tidak bisa kita hindari."


Naruto memandang Hinata, merasakan beratnya kata-kata itu. "Aku tahu, Hinata. Tapi kita harus berusaha mencegahnya. Kita punya kekuatan untuk mengubah masa depan, bersama-sama. Jika kita bisa mempersiapkan tim kita dengan baik, kita bisa menghadapi apa saja."


Hinata mengangguk, meskipun hatinya masih dipenuhi ketidakpastian. "Tim 7 akan dibentuk, bukan? Aku hanya berharap kita bisa menghadapinya tanpa ada korban jiwa."  


Naruto tersenyum tipis. "Itulah yang kita rencanakan. Kita harus mempersiapkan semuanya, termasuk mempersiapkan diri kita untuk situasi terburuk."


---


**Pembagian Tim dan Perasaan Tersembunyi**  


Hari yang ditunggu pun tiba. Pembagian tim dilakukan oleh Kakashi, yang mengenalkan tim yang baru kepada masing-masing anggotanya. Naruto, Sasuke, dan Sakura, akan kembali bersama dalam Tim 7, dengan Kakashi sebagai pemimpin mereka. Tim ini akan menjalani banyak misi bersama, menghadapi banyak rintangan, dan juga, menghadapi kenyataan yang jauh lebih besar daripada yang mereka bayangkan.  


Namun, di tengah kebahagiaan dan kehangatan pertemuan mereka, Hinata merasa gelisah. Ada rasa cemburu yang tumbuh dalam hatinya saat melihat Naruto bersama Sakura. Sakura yang selalu mendekati Naruto, memberikan perhatian lebih, dan terus-menerus berusaha untuk menjadi lebih dekat dengan Naruto.  


Setelah pertemuan, mereka berdua berjalan bersama menuju rumah mereka. Hinata tidak bisa lagi menahan perasaan itu.  


"Naruto," kata Hinata dengan suara pelan, tetapi cukup untuk menarik perhatian Naruto.  


Naruto menoleh, tersenyum dengan ekspresi penuh perhatian. "Ada apa, Hinata?"  


Hinata menggigit bibir bawahnya, mencoba menyusun kata-kata dengan hati-hati. "Aku... aku merasa cemburu," akhirnya ia mengungkapkan perasaannya.  


Naruto terkejut. "Cemburu? Pada siapa?"  


"Pada Sakura," jawab Hinata dengan jujur, meskipun hatinya sedikit cemas.  


Naruto terdiam sejenak, mencerna kata-kata Hinata. Kemudian ia tertawa pelan. "Hinata, aku tidak tahu harus berkata apa. Sakura memang... agak berlebihan kadang-kadang. Tapi kau tidak perlu cemas. Aku... hanya melihatnya sebagai teman."  


Hinata merasa sedikit lega, meskipun rasa cemburunya masih ada. "Aku tahu. Aku hanya... aku hanya tidak ingin ada yang mengganggu kita."  


Naruto mengulurkan tangan untuk memegang tangan Hinata. "Hinata, kita sudah melalui banyak hal bersama. Tidak ada yang bisa mengubah itu. Kita saling mendukung, kan?"  


Hinata tersenyum lembut, merasa lebih tenang setelah mendengar kata-kata itu. "Ya, kita saling mendukung."  


---


Mereka akhirnya sampai di rumah, mempersiapkan diri untuk misi mereka yang berikutnya. Namun, perasaan cemburu Hinata, meskipun telah diungkapkan, masih mengganggu hatinya. Di luar itu, ancaman invasi semakin dekat, dan Naruto serta Hinata tahu bahwa mereka harus lebih siap dari sebelumnya.  


Saat malam tiba, di bawah cahaya rembulan, Naruto dan Hinata berjanji untuk saling melindungi, tidak hanya sebagai tim, tetapi sebagai pasangan.  


Namun, dalam kedalaman hati mereka, mereka tahu bahwa perjalanan ini akan jauh lebih rumit dari yang mereka bayangkan. Karena selain musuh di luar sana, ada juga perasaan yang harus mereka hadapi—perasaan mereka satu sama lain.  


Dengan rasa cemas yang mendalam, mereka bersiap menghadapi pembagian tim yang baru, yang akan mengubah takdir mereka selamanya.



**Bab 8: Ikatan yang Semakin Erat**  


Misi Tim 7 ke Negeri Ombak menghadirkan tantangan yang tampaknya mudah bagi Naruto dan rekan-rekannya. Zabuza Momochi, sang pembunuh bayaran, dan Haku, pengikut setianya, meskipun kuat, tidak mampu menghadapi strategi matang dan kekuatan gabungan Tim 7 yang kini jauh lebih solid.  


Naruto menggunakan kecerdasannya untuk mengantisipasi serangan Haku yang cepat, serta memanfaatkan kelemahan-kelemahan Zabuza yang ia ketahui dari cerita asli. Sasuke pun berkoordinasi dengan Naruto dengan lebih baik, sementara Kakashi memainkan peran sebagai pemimpin strategis. Sakura, meskipun masih belajar, menunjukkan kemampuannya menjaga posisi dan melindungi Tazuna, sang klien.  


Pertarungan itu selesai lebih cepat dari yang diharapkan. Naruto menyampaikan pesan kepada Zabuza dan Haku tentang makna ikatan dan pengorbanan, yang membuat mereka terkejut dan tersentuh. Zabuza, sebelum melarikan diri bersama Haku, memutuskan untuk tidak lagi mengincar nyawa Tazuna, berkat kata-kata Naruto yang mengubah pandangan hidupnya.  


---


**Naruto dan Popularitasnya**  


Setelah keberhasilan misi tersebut, Naruto menjadi semakin populer di desa. Namanya dikenal sebagai shinobi muda yang berbakat, cerdas, dan penuh karisma. Anak-anak di akademi mengidolakan Naruto, sementara banyak orang mulai melihatnya dengan hormat—kebalikan dari masa kecil Naruto yang penuh hinaan.  


Namun, popularitas Naruto ini ternyata memunculkan kecemburuan di hati Hinata. Suatu hari, saat mereka berjalan bersama di pinggir desa, Hinata menghentikan langkahnya.  


"Naruto," katanya dengan nada serius.  


Naruto menoleh, sedikit bingung. "Ya, Hinata? Ada apa?"  


Hinata menghela napas. "Aku ingin kau tahu... Aku akan marah kalau kau dekat-dekat dengan wanita lain."  


Naruto mengangkat alis, terkejut. "Hah? Hinata, maksudmu apa? Kau cemburu?"  


Hinata menatapnya dengan tegas, jauh dari sikap malu-malu yang biasa diperlihatkan Hinata di cerita asli. "Ya. Aku tidak ingin ada yang mengambilmu dariku. Kau tahu kita punya sesuatu yang lebih dalam dari sekadar hubungan tim."  


Naruto tersenyum kecil, merasa terhibur sekaligus tersanjung. "Hinata, aku hanya melihatmu. Kau satu-satunya yang benar-benar penting bagiku."  


Hinata akhirnya tersenyum lega, meskipun ia masih memasang wajah serius. "Ingat itu."  


Naruto tertawa kecil. "Baik, baik. Aku tidak akan membuatmu marah."  


---


**Membahas Dunia Nyata**  


Di sela-sela waktu mereka, Naruto dan Hinata sering mencari tempat sepi untuk berbicara tentang sesuatu yang tidak bisa mereka bagi dengan orang lain: dunia nyata.  


"Aku jadi ingat," kata Naruto sambil duduk di bawah pohon besar di pinggir desa. "Kau ingat saat di dunia nyata, kita pernah bicara soal cerita Naruto? Aku bilang kalau aku jadi Naruto, kau pasti jadi Hinata."  


Hinata, atau Feni, tertawa kecil. "Iya. Tapi waktu itu aku bilang sifat kita terlalu bertolak belakang. Kau terlalu ceria, aku lebih suka hal yang tenang. Dan lihat kita sekarang."  


Naruto mengangguk, memandangi langit. "Aneh, ya? Semua ini... kita benar-benar di sini. Hidup di dunia Naruto. Tapi aku terus bertanya-tanya... apa kita bisa kembali ke dunia nyata?"  


Hinata terdiam, memikirkan hal yang sama. "Aku juga sering memikirkannya. Tapi, Galih... atau Naruto... kalau kita bisa kembali, apa kau ingin meninggalkan semua ini?"  


Naruto terdiam sesaat. "Aku tidak tahu. Di sini, aku punya kesempatan untuk mengubah sesuatu. Aku bisa membuat dunia ini lebih baik, mencegah tragedi-tragedi yang aku tahu akan datang. Tapi di sisi lain... dunia nyata adalah tempat kita berasal. Tempat kita punya keluarga, kehidupan asli kita."  


Hinata mengangguk. "Aku juga merasa begitu. Tapi... aku juga merasa kita diberikan kesempatan ini untuk alasan tertentu. Mungkin kita harus fokus pada apa yang bisa kita lakukan di sini."  


Naruto menoleh ke Hinata, tersenyum kecil. "Kau benar. Kita jalani saja apa yang ada di depan kita, dan kalau waktunya tiba, kita cari cara untuk kembali."  


Hinata tersenyum, merasa tenang karena memiliki Naruto di sisinya. "Dan apapun yang terjadi, kita hadapi bersama."  


Naruto mengangguk. "Ya. Bersama."  


---



Di desa, perbincangan tentang kedekatan Naruto dan Hinata mulai menyebar. Beberapa rekan mereka, termasuk Sakura, bahkan mulai menggoda Naruto tentang hubungannya dengan Hinata. Namun Naruto dan Hinata memilih untuk tidak terlalu memikirkannya, meskipun di balik semua itu, mereka tahu bahwa hubungan mereka memang lebih dari sekadar teman satu desa.  


Di tengah kehangatan hubungan mereka, Naruto dan Hinata tetap mempersiapkan diri untuk tantangan-tantangan yang akan datang. Mereka tahu bahwa ancaman besar, seperti invasi dan perang, masih membayangi Konoha.  


Namun untuk saat ini, mereka berdua menikmati momen-momen kecil di dunia ini, sambil terus mencari jawaban atas pertanyaan terbesar mereka: apakah mereka bisa kembali ke dunia nyata, dan jika bisa, apakah mereka benar-benar ingin meninggalkan dunia yang sudah menjadi bagian dari hidup mereka ini?  


**Bab 9: Persahabatan yang Tak Terduga**  


Setelah misi di Negeri Ombak, Naruto dan Hinata berusaha mencegah konflik besar dengan cara yang lebih diplomatis. Mereka menyadari bahwa Gaara, jinchÅ«riki dari Desa Sunagakure, adalah kunci penting dalam menjaga stabilitas masa depan.  


Naruto, yang memahami rasa kesepian dan penderitaan sebagai jinchÅ«riki, memutuskan untuk mendekati Gaara. Hinata mendukung penuh rencana ini, meskipun mereka tahu bahwa pendekatan tersebut berisiko.  


**Pertemuan dengan Gaara**  


Di sela-sela persiapan Ujian Chuunin, Naruto sengaja mendekati Gaara di tempat yang sepi. Dengan sikap tenang dan penuh percaya diri, ia memulai percakapan.  


"Gaara," kata Naruto, suaranya tegas namun ramah.  


Gaara menatap Naruto dengan tatapan dingin, penuh kecurigaan. "Apa maumu?"  


Naruto tersenyum tipis. "Aku tahu bagaimana rasanya menjadi seperti dirimu. Sendirian. Dibenci. Aku pernah ada di tempat yang sama."  


Gaara mengernyit, tidak menyangka ada yang berani mengatakan hal seperti itu padanya. "Kau tidak tahu apa-apa tentangku."  


Naruto menggeleng. "Mungkin aku tidak tahu segalanya, tapi aku tahu bagaimana rasanya dicap sebagai monster. Aku tahu bagaimana rasanya hidup hanya untuk membuktikan bahwa kau layak."  


Gaara terdiam, namun tatapannya mulai melembut. Kata-kata Naruto menggugah sesuatu di dalam dirinya.  


"Kau tidak harus sendirian, Gaara," lanjut Naruto. "Aku di sini, dan aku ingin kita menjadi teman. Bukan karena aku ingin memanfaatkannya, tapi karena aku tahu kita bisa saling membantu."  


Hinata, yang mengamati dari kejauhan, merasa bangga dengan pendekatan Naruto. Ia tahu bahwa hanya Naruto yang bisa menyentuh hati seseorang seperti Gaara.  


Gaara tidak langsung menjawab, tetapi ia tidak meninggalkan tempat itu. Itu cukup bagi Naruto untuk tahu bahwa usahanya tidak sia-sia.  


---


**Ujian Chuunin Dimulai**  


Ujian Chuunin akhirnya tiba, dan Desa Konoha dipenuhi oleh genin dari berbagai desa. Naruto, Hinata, dan Sasuke, bersama tim mereka, siap menghadapi tantangan yang ada.  


Naruto, dengan kecerdasannya yang berkembang pesat, memimpin tim 7 melalui setiap ujian dengan strategi yang matang. Ia memastikan timnya bekerja sama dengan baik, bahkan memberi arahan kepada Sakura agar lebih percaya diri dan berguna dalam situasi genting.  


**Ujian Tertulis**  

Dalam ujian tertulis, Naruto memanfaatkan kecerdasannya untuk menjawab soal-soal sulit tanpa perlu mencontek. Ia bahkan membantu Sasuke dan Sakura memahami beberapa pertanyaan dengan memberi petunjuk secara halus. Kakashi yang mengamati dari kejauhan merasa bangga melihat perkembangan Naruto yang luar biasa.  


**Hutan Kematian**  

Di Hutan Kematian, Naruto kembali menunjukkan kepemimpinannya. Ia mengarahkan timnya untuk menghindari pertempuran yang tidak perlu dan fokus pada tujuan utama mereka: mendapatkan gulungan yang dibutuhkan.  


Namun, mereka tidak bisa menghindari pertemuan dengan Orochimaru, yang muncul untuk menyerang Sasuke. Kali ini, Naruto sudah siap. Ia memanfaatkan pengetahuannya tentang Orochimaru untuk menyusun strategi kabur yang cerdas, memanfaatkan jebakan-jebakan di sekitar hutan untuk mengulur waktu dan melindungi timnya.  


Sasuke, yang terkesan dengan keberanian dan kecerdasan Naruto, mulai lebih mempercayai sahabatnya ini. Meskipun Orochimaru berhasil menanamkan segel kutukan pada Sasuke, Naruto berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak membiarkan Sasuke jatuh ke tangan Orochimaru.  


---


**Dimulainya Invasi**  


Pada saat ujian tahap akhir berlangsung, invasi dari Desa Suna dan Otogakure dimulai. Namun, karena persiapan Naruto dan Hinata, beberapa skenario besar berhasil dicegah.  


Naruto, dibantu Shikamaru, berhasil memperingatkan Kakashi dan Hokage Ketiga tentang kemungkinan serangan ini. Mereka berhasil membantu Konoha mempersiapkan pertahanan lebih baik. Saat Orochimaru dan Gaara melancarkan serangan mereka, Naruto berhasil mengajak Gaara berbicara lagi di tengah pertarungan.  


"Gaara! Ini bukan jalan yang harus kau pilih!" teriak Naruto sambil menghindari serangan Shukaku.  


Gaara, yang sudah mulai mempertimbangkan kata-kata Naruto sebelumnya, terlihat bimbang. Serangan Shukaku menjadi kurang terarah, memberikan kesempatan bagi Naruto untuk mendekatinya.  


"Aku tahu kau bisa lebih dari ini!" lanjut Naruto. "Kau bukan monster! Kau adalah Gaara, dan aku percaya kau bisa mengendalikan kekuatanmu!"  


Dengan bantuan Hinata, yang menggunakan Byakugan untuk menemukan titik kelemahan Shukaku, Naruto berhasil menjatuhkan Gaara dari bentuk transformasinya. Gaara, yang kini tidak lagi dalam kendali Shukaku, memutuskan untuk berhenti bertarung.  


Invasi berakhir dengan kerugian yang jauh lebih kecil dibandingkan cerita asli. Meskipun Orochimaru berhasil melarikan diri, Desa Konoha tetap berdiri kuat, berkat upaya Naruto dan Hinata.  


---


**Diskusi tentang Dunia Nyata**  


Di tengah malam setelah invasi, Naruto dan Hinata duduk di atas atap rumah mereka, menikmati ketenangan yang langka.  


"Aku merasa lega," kata Hinata. "Gaara akhirnya mendengarkanmu. Kau benar-benar mengubahnya."  


Naruto tersenyum. "Aku hanya ingin dia tahu bahwa dia tidak sendirian. Sama seperti aku tidak sendirian karena ada kau."  


Hinata tersipu, tetapi ia segera mengalihkan pembicaraan. "Naruto... atau Galih, menurutmu, apa kita bisa kembali ke dunia nyata?"  


Naruto terdiam sejenak. "Aku tidak tahu, Hinata. Tapi, kalaupun kita tidak bisa kembali, aku merasa... di sini aku punya tujuan. Kita bisa membuat dunia ini lebih baik."  


Hinata mengangguk. "Aku setuju. Tapi... aku tetap rindu dengan dunia nyata. Dengan kehidupan kita sebelumnya."  


Naruto menatap Hinata dengan serius. "Aku juga. Tapi apa pun yang terjadi, aku akan tetap bersamamu. Kita akan mencari jalan, bersama-sama."  


Hinata tersenyum, merasa tenang dengan kata-kata Naruto. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, tetapi selama mereka bersama, mereka yakin bisa menghadapi apa pun yang ada di depan mereka.  


**Bab 10: Kenyataan yang Tak Terhindarkan**  


Desa Konoha berduka. Hiruzen Sarutobi, Hokage Ketiga, meninggal dunia setelah penyakit lama yang dideritanya semakin parah. Tidak ada pertempuran epik melawan Orochimaru, tidak ada Shiki FÅ«jin yang mengorbankan jiwanya. Namun, bagi Naruto, kehilangan ini tetaplah pukulan berat.  


Di pemakaman, Naruto berdiri bersama Hinata, melihat nisan Hokage Ketiga yang dikelilingi oleh para shinobi Konoha. Ia memikirkan bagaimana, meskipun ia telah mengubah banyak hal dalam alur cerita ini, kematian Hiruzen tetap tidak dapat dihindari.  


"Jadi, ini takdir yang harus terjadi," bisik Naruto pada Hinata, suaranya dipenuhi rasa bersalah.  


Hinata menatapnya, mencoba menghibur. "Kau sudah melakukan yang terbaik, Naruto. Tidak semuanya bisa kau kendalikan. Kadang, kita hanya bisa menerima."  


Naruto mengangguk pelan, tetapi hatinya tetap terasa berat. Dalam diam, ia berjanji akan melindungi desa ini lebih baik lagi, memastikan bahwa kematian Hiruzen tidak akan sia-sia.  


---


**Pencarian Hokage Kelima**  


Setelah kematian Hiruzen, para tetua desa segera memulai diskusi untuk mencari penggantinya. Kakashi menjadi salah satu kandidat utama, tetapi ia sendiri merasa tidak siap untuk mengambil tanggung jawab sebesar itu.  


Naruto, yang tahu dari cerita asli bahwa Tsunade Senju adalah pilihan terbaik, menyarankan namanya kepada Kakashi dan para tetua.  


"Kalian butuh seseorang yang memiliki pengalaman dan kekuatan untuk melindungi desa," kata Naruto dengan tegas. "Tsunade adalah orang yang kalian cari."  


Kakashi terkejut mendengar nama itu keluar dari mulut Naruto. "Bagaimana kau tahu tentang Tsunade?"  


Naruto tersenyum kecil. "Aku banyak membaca tentang sejarah Konoha. Dia adalah salah satu dari Sannin Legendaris, bukan? Lagipula, dia memiliki hubungan darah dengan Hokage Pertama. Bukankah dia pilihan yang paling masuk akal?"  


Para tetua akhirnya setuju, tetapi mereka membutuhkan seseorang untuk mencarinya. Naruto langsung menawarkan diri, dengan alasan bahwa ia ingin belajar lebih banyak di luar desa. Kakashi menyetujui, tetapi ia meminta Naruto untuk pergi bersama seorang guru yang dapat melindunginya: **Jiraiya, Sannin yang tersisa di desa.**  


---


**Pertemuan dengan Jiraiya**  


Naruto bertemu dengan Jiraiya di salah satu sudut desa, tempat pria berjuluk "Petapa Genit" itu sedang menulis buku di bawah pohon.  


"Jiraiya-sama," panggil Naruto dengan sopan, membuat Jiraiya menoleh dengan ekspresi terkejut.  


"Naruto? Kenapa kau mencariku? Aku tidak ada waktu untuk melatih anak-anak sekarang," katanya santai.  


Naruto tersenyum kecil. "Aku tidak hanya ingin dilatih. Aku ingin belajar dari salah satu shinobi terbaik di Konoha. Aku tahu kau adalah gurunya Yondaime, dan aku ingin menjadi lebih kuat."  


Jiraiya menatap Naruto dengan mata tajam, mencoba membaca niatnya. "Kenapa kau ingin menjadi lebih kuat, anak muda?"  


Naruto menghela napas, tatapannya serius. "Karena aku tahu ada banyak hal yang akan datang. Ancaman yang lebih besar dari Orochimaru. Aku ingin melindungi desa ini dan orang-orang yang penting bagiku."  


Jiraiya tersenyum tipis, kagum dengan kedewasaan Naruto. "Baiklah. Kalau begitu, kita akan pergi bersama mencari Tsunade. Dalam perjalanan, aku akan mengajarkanmu beberapa hal. Tapi kau harus siap bekerja keras."  


Naruto mengangguk antusias. "Aku siap!"  


---


**Latihan Bersama Jiraiya**  


Dalam perjalanan mencari Tsunade, Jiraiya mulai melatih Naruto dengan cara yang keras namun efektif. Salah satu hal pertama yang diajarkan adalah mengendalikan chakra dengan lebih baik, terutama dalam menggunakan jurus andalannya, **Rasengan.**  


"Ini adalah teknik yang diciptakan oleh Yondaime Hokage," jelas Jiraiya sambil memperlihatkan Rasengan di telapak tangannya. "Butuh kendali chakra yang luar biasa untuk menguasainya, jadi jangan harap kau bisa melakukannya dalam waktu singkat."  


Namun, Naruto mengejutkan Jiraiya dengan cepatnya ia belajar. Dengan kombinasi kecerdasannya yang meningkat dan pengetahuan sebelumnya dari cerita asli, Naruto berhasil mempelajari dasar-dasar Rasengan dalam waktu singkat.  


"Kau memang berbakat," komentar Jiraiya, meskipun ia masih menyembunyikan rasa penasarannya. "Tapi jangan sombong dulu. Masih banyak yang harus kau pelajari."  


Selain Rasengan, Jiraiya juga mengajarkan Naruto tentang pentingnya memahami peran jinchÅ«riki. "Kau bukan hanya anak dengan kekuatan besar di dalam tubuhmu," katanya. "Kau adalah simbol harapan bagi desa ini. Jangan pernah melupakan itu."  


---


**Hinata dan Kecemasan**  


Sementara itu, Hinata tetap tinggal di desa, merasa cemas dengan Naruto yang pergi jauh. Ia menggunakan waktunya untuk melatih diri, bertekad menjadi lebih kuat agar bisa berdiri sejajar dengan Naruto.  


Di sela-sela latihannya, ia sering berbicara dengan Shikamaru, yang semakin yakin bahwa Naruto dan Hinata memiliki pengetahuan yang tidak dimiliki orang lain.  


"Naruto dan kau," kata Shikamaru suatu hari, "kalian seperti tahu apa yang akan terjadi sebelum itu terjadi. Itu bukan sesuatu yang bisa diabaikan."  


Hinata mencoba menghindari pembicaraan itu, tetapi Shikamaru hanya tersenyum. "Tenang saja. Aku tidak akan memberitahu siapa pun. Aku hanya ingin memastikan bahwa kalian tahu aku ada di pihak kalian."  


Hinata merasa lega, tetapi ia tetap khawatir tentang masa depan. Ia tahu bahwa perjalanan Naruto bersama Jiraiya akan membawa banyak perubahan, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk dunia ini.  


---


**Misi Baru Dimulai**  


Naruto dan Jiraiya akhirnya mendekati kota tempat Tsunade dikabarkan berada. Dalam perjalanan, Naruto semakin memahami pentingnya kekuatan dan kebijaksanaan yang diajarkan Jiraiya.  


Namun, ia juga tidak bisa mengabaikan rasa rindunya pada Hinata, serta kekhawatiran tentang bagaimana semua ini akan berakhir.  


"Apa kau pikir kita benar-benar bisa mengubah dunia ini, Jiraiya-sama?" tanya Naruto suatu malam saat mereka beristirahat.  


Jiraiya tersenyum kecil. "Mengubah dunia itu bukan hal yang mudah, Naruto. Tapi kau sudah membuat langkah pertama. Dan itu lebih dari cukup."  


Naruto mengangguk, merasa sedikit lega. Ia tahu bahwa perjalanannya masih panjang, tetapi dengan Jiraiya di sisinya, ia merasa siap menghadapi apa pun yang akan datang.  


**Bab 11: Keputusan yang Berat**  


Naruto dan Jiraiya akhirnya berhasil menemukan Tsunade di sebuah kota kecil, di mana Tsunade terlihat menghabiskan waktunya berjudi dan minum-minum. Awalnya, Tsunade menolak mentah-mentah tawaran untuk menjadi Hokage Kelima. Namun, ketika Orochimaru dan Kabuto menyerangnya, Naruto menunjukkan keberaniannya dengan menggunakan **Rasengan** untuk melindungi Tsunade.  


Naruto yang telah menguasai teknik Rasengan dalam waktu singkat membuat Tsunade terkesan. Setelah melihat semangat Naruto yang pantang menyerah, ia akhirnya setuju untuk kembali ke Konoha dan menerima tanggung jawab sebagai Hokage Kelima.  


---


**Naruto dan Latihan yang Tanpa Henti**  


Sekembalinya ke Konoha, Naruto semakin termotivasi untuk melatih dirinya. Ia menghabiskan hampir seluruh waktunya berlatih, bahkan lebih dari yang dilakukan tokoh aslinya dalam cerita. Rasengan kini menjadi jurus andalannya, tetapi ia tidak berhenti di sana. Dengan bimbingan Jiraiya, Naruto mulai mencoba mempelajari kendali chakra Kyuubi, sesuatu yang sangat berisiko.  


Namun, keseriusannya untuk menjadi lebih kuat membawa konsekuensi. Tubuhnya mulai kelelahan karena kurang istirahat dan pola makan yang tidak teratur. Hinata, yang diam-diam selalu memperhatikan Naruto, merasa khawatir melihat kondisinya semakin memburuk.  


---


**Naruto Jatuh Sakit**  


Suatu pagi, Hinata mendengar kabar bahwa Naruto pingsan saat sedang berlatih di hutan. Ia segera bergegas ke rumah sakit, di mana Naruto dirawat dengan kondisi tubuh yang kelelahan.  


Ketika Naruto terbangun, Hinata sudah duduk di sampingnya dengan wajah khawatir. "Naruto-kun, kau harus lebih menjaga dirimu. Latihan terus-menerus tanpa istirahat akan membuatmu sakit."  


Naruto tersenyum lemah. "Aku baik-baik saja, Hinata. Aku hanya ingin menjadi lebih kuat agar bisa melindungi semua orang."  


"Tapi apa gunanya menjadi kuat kalau kau malah menghancurkan tubuhmu sendiri?" jawab Hinata dengan nada serius yang jarang ia gunakan.  


Naruto tidak punya jawaban. Ia tahu Hinata benar, tetapi ia merasa sulit untuk berhenti berlatih.  


---


**Usulan Pernikahan**  


Beberapa hari kemudian, Hinata kembali mengunjungi Naruto yang masih dalam pemulihan. Kali ini, ia membawa makanan yang dimasaknya sendiri, memastikan Naruto mendapatkan nutrisi yang cukup.  


"Naruto-kun," kata Hinata sambil meletakkan mangkuk sup di meja. "Aku punya usul... tapi mungkin terdengar aneh."  


Naruto menatapnya dengan penasaran. "Apa itu, Hinata?"  


Hinata menggigit bibirnya, gugup, tetapi ia memaksakan diri untuk berbicara. "Aku berpikir... mungkin kita sebaiknya menikah."  


Naruto terdiam, terkejut dengan usulan tersebut. "Menikah? Kenapa tiba-tiba?"  


Hinata mengalihkan pandangannya, wajahnya memerah. "Karena... aku ingin memastikan kau menjaga dirimu. Di dunia nyata, aku selalu memastikan kau makan dengan baik dan tidak terlalu memaksakan diri. Kalau kita menikah di sini, aku bisa melakukannya lagi."  


Naruto terdiam beberapa saat, memikirkan usulan tersebut. Ia tahu Hinata benar-benar peduli padanya, dan ia sendiri merasa rindu dengan kedekatan mereka di dunia nyata. Akhirnya, ia tersenyum dan mengangguk.  


"Kalau itu artinya aku bisa makan enak setiap hari, aku setuju," jawabnya bercanda, membuat Hinata tertawa kecil meskipun wajahnya masih memerah.  


---


**Sasuke Berkonsultasi dengan Naruto**  


Tidak lama setelah Naruto sembuh, Sasuke mendatanginya dengan wajah serius. Naruto yang sudah mulai sehat kembali menyambutnya dengan senyum lebar.  


"Ada apa, Sasuke? Kau terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat," kata Naruto.  


Sasuke duduk di samping Naruto, menatap ke arah langit. "Naruto, aku ingin meminta pendapatmu. Aku berpikir untuk meninggalkan desa."  


Naruto terkejut mendengar pernyataan itu. "Kenapa? Kau tahu aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja."  


Sasuke menghela napas. "Aku ingin memanfaatkan kekuatan Orochimaru untuk melawan Itachi. Tapi aku tidak berniat menyerahkan tubuhku padanya. Aku hanya membutuhkan kekuatan tambahan. Setelah itu, aku ingin kita berdua mengalahkan Orochimaru bersama."  


Naruto terdiam, mencoba mencerna kata-kata Sasuke. Dalam cerita asli, ia tahu Sasuke benar-benar pergi dan akhirnya terjerat oleh Orochimaru. Tetapi kali ini, ia melihat ada niat yang berbeda. Sasuke tidak ingin benar-benar mengkhianati desa, hanya menggunakan Orochimaru sebagai batu loncatan.  


"Apa kau yakin ini satu-satunya cara?" tanya Naruto akhirnya.  


Sasuke mengangguk. "Aku sudah memikirkannya matang-matang. Tapi aku ingin tahu pendapatmu sebelum aku melakukannya."  


Naruto menatap Sasuke dengan serius. "Kalau kau yakin ini yang terbaik, aku akan mendukungmu. Tapi ingat, Sasuke, aku tidak akan membiarkan Orochimaru menyentuhmu. Kalau dia mencoba sesuatu, aku akan menghancurkannya."  


Sasuke tersenyum tipis, merasa lega mendengar dukungan Naruto. "Aku tahu aku bisa mengandalkanmu."  


---


**Persiapan Baru**  


Setelah percakapan dengan Sasuke, Naruto dan Hinata mulai mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk. Mereka tahu bahwa keputusan Sasuke akan membawa dampak besar, baik bagi dirinya maupun desa.  


"Naruto-kun," kata Hinata suatu malam, "apa kau benar-benar yakin ini keputusan yang tepat?"  


Naruto mengangguk. "Aku percaya pada Sasuke. Tapi aku juga tahu bahwa kita harus bersiap. Kalau sesuatu terjadi, kita harus bisa melindunginya."  


Hinata menghela napas, merasa khawatir tetapi juga percaya pada Naruto. Mereka tahu bahwa perjalanan ini masih panjang, tetapi mereka siap menghadapi apa pun yang akan datang.  


Dengan kekuatan yang terus berkembang dan hubungan yang semakin erat, Naruto dan Hinata bersumpah untuk menjaga Konoha dan orang-orang yang mereka sayangi, apa pun yang terjadi.  



**Bab 12: Harapan dalam Kegelapan**  


Naruto mulai memikirkan strategi besar untuk mengubah jalannya cerita. Dalam hatinya, ia selalu merasa kagum sekaligus prihatin terhadap sosok **Itachi Uchiha**, seorang pria yang memikul beban besar demi melindungi desa, namun tetap dianggap pengkhianat.  


"Kalau aku bisa mendekati Itachi, mungkin aku bisa membawanya keluar dari Akatsuki," pikir Naruto. "Dia tidak seperti yang dipikirkan orang. Dia hanya seorang kakak yang ingin melindungi adiknya dan desa."  


Hinata, yang mendengarkan ide itu, terkejut. "Naruto-kun, apa kau yakin bisa melakukannya? Akatsuki adalah organisasi yang sangat berbahaya."  


Naruto tersenyum kecil. "Aku tahu itu berbahaya, Hinata. Tapi aku tidak bisa membiarkan orang seperti Itachi terus berada di sisi yang salah. Jika kita bisa meyakinkannya, dia bisa menjadi sekutu yang kuat melawan Akatsuki."  


---


**Mencari Informasi Tentang Itachi**  


Naruto mulai mencari informasi tentang keberadaan Itachi. Ia memanfaatkan jaringan Jiraiya, yang dikenal memiliki informasi tentang pergerakan Akatsuki, untuk menemukan jejak Itachi.  


"Jiraiya-sensei, aku butuh bantuanmu," kata Naruto suatu malam.  


Jiraiya menatapnya dengan serius. "Apa yang kau rencanakan kali ini, Naruto? Aku tahu raut wajah itu. Kau pasti sedang memikirkan sesuatu yang besar."  


Naruto mengangguk. "Aku ingin bertemu dengan Itachi Uchiha."  


Jiraiya terkejut. "Apa? Kau tahu dia anggota Akatsuki, bukan? Dia adalah salah satu shinobi paling berbahaya di dunia."  


"Tapi aku juga tahu siapa dia sebenarnya," jawab Naruto tegas. "Aku ingin memberinya pilihan untuk melawan Akatsuki, bukan menjadi bagian dari mereka."  


Jiraiya terdiam sejenak, lalu akhirnya mengangguk. "Baiklah. Tapi ingat, Naruto, ini sangat berbahaya. Kau harus siap menghadapi apa pun."  


---


**Pertemuan dengan Itachi**  


Dengan bantuan Jiraiya, Naruto berhasil menemukan lokasi di mana Itachi sedang menjalankan salah satu misi Akatsuki. Naruto, Hinata, dan Jiraiya memutuskan untuk menghadapinya secara langsung.  


Mereka menemui Itachi di sebuah hutan terpencil, di mana ia sedang beristirahat. Naruto melangkah maju, tatapannya penuh determinasi.  


"Itachi Uchiha," panggil Naruto, membuat pria itu menoleh.  


Itachi menatap Naruto dengan mata Sharingan-nya yang tajam. "Naruto Uzumaki. Aku tidak menyangka kau akan mencariku."  


Naruto menelan ludah, tetapi ia tidak mundur. "Aku ingin berbicara denganmu, Itachi. Aku tahu siapa kau sebenarnya. Aku tahu alasanmu meninggalkan Konoha."  


Itachi terdiam, sedikit terkejut mendengar kata-kata itu. "Apa maksudmu?"  


"Aku tahu kau tidak benar-benar mengkhianati desa. Kau melakukannya untuk melindungi Konoha dan Sasuke," kata Naruto. "Aku tidak akan membiarkanmu terus menderita sendirian. Kau tidak harus menjadi bagian dari Akatsuki. Kau bisa memilih jalan lain."  


Itachi memperhatikan Naruto dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Kau tahu terlalu banyak, Naruto. Dari mana kau mendapatkan informasi ini?"  


Naruto tersenyum kecil. "Itu tidak penting. Yang penting adalah kau punya pilihan. Kau tidak harus melawan Sasuke. Kau bisa melawan Akatsuki bersama kami."  


Itachi menatap Naruto dalam-dalam, mencoba mencari tahu kebenaran di balik kata-katanya. Setelah beberapa saat, ia berbicara.  


"Naruto, kau tidak tahu apa yang kau hadapi. Akatsuki bukanlah organisasi yang bisa dilawan dengan mudah. Tapi aku menghargai keberanianmu," kata Itachi. "Namun, aku tidak bisa meninggalkan peranku sekarang. Masih ada sesuatu yang harus kuselesaikan."  


---


**Naruto Tidak Menyerah**  


Meskipun Itachi menolak tawarannya, Naruto tidak menyerah. Ia terus berbicara, mencoba meyakinkan Itachi bahwa ia tidak harus melakukannya sendiri.  


"Kami semua ingin membantu," kata Naruto. "Aku, Hinata, bahkan Sasuke. Kami bisa melawan Akatsuki bersama-sama."  


Saat nama Sasuke disebut, Itachi tampak sedikit terpengaruh. "Sasuke... Dia adalah alasan aku tetap di sini. Jika aku meninggalkan peran ini sekarang, nyawanya akan berada dalam bahaya."  


Naruto menatap Itachi dengan penuh tekad. "Kalau begitu, biarkan aku melindunginya. Aku berjanji, aku tidak akan membiarkan apa pun terjadi padanya."  


Itachi terdiam lama, kemudian tersenyum tipis. "Kau benar-benar berbeda dari yang kudengar, Naruto Uzumaki. Aku akan memikirkan tawaranmu. Tapi untuk sekarang, jangan mencariku lagi."  


---


**Kesimpulan Sementara**  


Naruto, Hinata, dan Jiraiya meninggalkan pertemuan itu dengan campuran perasaan lega dan frustrasi. Naruto tahu bahwa ia telah menanam benih keraguan di hati Itachi, tetapi perjalanan untuk menjadikannya sekutu masih panjang.  


"Kau melakukannya dengan baik, Naruto," kata Jiraiya. "Itachi adalah pria yang sangat sulit didekati. Fakta bahwa dia bahkan mempertimbangkan tawaranmu adalah kemenangan kecil."  


Naruto mengangguk, meskipun ia tahu bahwa tugasnya belum selesai. Ia bertekad untuk terus mencoba, karena ia percaya bahwa Itachi adalah kunci untuk menghancurkan Akatsuki dari dalam.  


---


**Sasuke dan Rencana Besar**  


Sementara itu, Sasuke kembali berbicara dengan Naruto tentang rencananya untuk meninggalkan desa. Setelah mendengar bahwa Naruto telah bertemu dengan Itachi, Sasuke menjadi semakin yakin untuk mengikuti rencananya.  


"Kalau kau bisa berbicara dengan Itachi, maka aku bisa mendapatkan kekuatan yang cukup untuk menghadapinya," kata Sasuke.  


Naruto menatap Sasuke dengan serius. "Ingat, Sasuke, kau tidak sendiri. Jika kau memilih jalan ini, aku akan selalu ada untuk membantumu."  


Sasuke tersenyum tipis. "Aku tahu, Naruto. Tapi ini adalah sesuatu yang harus kulakukan sendiri. Aku hanya ingin kau percaya padaku."  


Naruto mengangguk, meskipun hatinya berat. Ia tahu bahwa Sasuke sedang mengambil risiko besar, tetapi ia percaya pada sahabatnya.  


Di sisi lain, Naruto terus memikirkan Itachi dan Akatsuki. Dengan kekuatan dan pengetahuan yang dimilikinya, ia bertekad untuk mengubah jalannya cerita dan membawa dunia ini menuju kedamaian, apa pun yang terjadi.  


**Bab 13: Pertarungan yang Tak Terhindarkan**  


Desa Konoha gempar ketika kabar tentang Sasuke Uchiha meninggalkan desa menyebar. Tim penyelamat segera dibentuk, terdiri dari Naruto, Shikamaru, Kiba, Neji, dan Choji, dengan Hinata yang diam-diam ingin membantu dari jauh.  


Naruto tahu bahwa ini adalah momen krusial. Ia sudah berbicara dengan Sasuke sebelumnya, tetapi keputusan itu tetap membawa Sasuke pada jalan yang berbahaya. Di dalam hatinya, Naruto merasa bersalah membiarkan ini terjadi, tetapi ia percaya pada rencana mereka.  


---


**Pertemuan Sasuke dan Naruto**  


Di Lembah Akhir, tempat yang sama dalam cerita aslinya, Naruto akhirnya mengejar Sasuke. Hujan deras mengguyur, menambah intensitas pertemuan mereka. Sasuke berdiri di ujung patung Madara, menatap Naruto dengan tatapan penuh tekad.  


"Naruto, aku sudah memutuskan. Jangan mencoba menghentikanku," kata Sasuke.  


Naruto menghela napas. "Aku tahu. Tapi aku juga tidak akan membiarkanmu pergi tanpa melawan."  


Sasuke mengerutkan alisnya. "Kau benar-benar keras kepala. Kalau begitu, tunjukkan padaku kekuatanmu, Naruto. Aku ingin Orochimaru tahu bahwa aku serius meninggalkan desa."  


Naruto menyadari maksud Sasuke. Pertarungan ini bukan hanya untuk mereka, tetapi juga untuk memastikan Orochimaru percaya pada niat Sasuke. Namun, Naruto memutuskan untuk tidak menahan diri.  


---


**Pertarungan di Lembah Akhir**  


Pertarungan antara Naruto dan Sasuke berlangsung sengit. Naruto menggunakan kekuatan **Kyuubi** yang telah ia latih, sementara Sasuke mengeluarkan semua teknik Sharingan yang dikuasainya.  


Naruto melompat ke udara, membentuk Rasengan di tangannya. "Sasuke, aku tidak akan menyerah padamu!"  


Sasuke membalas dengan **Chidori**, berlari ke arah Naruto. "Kita lihat siapa yang lebih kuat sekarang!"  


Saat dua jurus itu bertabrakan, ledakan besar mengguncang lembah. Air terjun yang deras memercik ke mana-mana, membuat kedua shinobi terpental ke belakang.  


Namun, meskipun Sasuke telah memberikan yang terbaik, Naruto jelas lebih unggul. Dengan pengalaman dan latihan intensifnya, ia berhasil mengalahkan Sasuke dalam pertarungan ini.  


Naruto berdiri di atas tubuh Sasuke yang terjatuh, menatap sahabatnya dengan campuran rasa bangga dan sedih.  


"Kau kalah, Sasuke," kata Naruto dengan nada lembut.  


Sasuke tersenyum kecil meskipun wajahnya penuh luka. "Kau memang lebih kuat, Naruto. Tapi aku tidak akan berhenti di sini. Suatu saat, aku akan mengalahkanmu."  


---


**Naruto Pura-Pura Kalah**  


Naruto tahu bahwa jika ia membawa Sasuke kembali sekarang, rencana mereka untuk menghancurkan Orochimaru dari dalam akan gagal. Ia membuat keputusan sulit untuk berpura-pura kalah.  


Saat Sasuke perlahan bangkit, Naruto membiarkan dirinya terjatuh ke tanah, berpura-pura kehilangan kesadaran. Sasuke menatapnya sejenak, lalu berbisik, "Terima kasih, Naruto. Aku akan membuat ini berarti."  


Sasuke pergi meninggalkan Naruto, menuju Orochimaru.  


---


**Tim Penyelamat Tiba**  


Beberapa saat kemudian, anggota tim penyelamat tiba di lokasi. Mereka menemukan Naruto tergeletak, terluka parah, tetapi masih hidup.  


Shikamaru menggelengkan kepala. "Naruto, kau benar-benar nekat. Tapi setidaknya kau masih hidup."  


Naruto tersenyum lemah. "Maaf, Sasuke berhasil lolos."  


Meskipun kecewa, tim penyelamat membawa Naruto kembali ke desa untuk mendapatkan perawatan. Hinata, yang mengetahui keadaan Naruto, berlari ke rumah sakit untuk memastikan ia baik-baik saja.  


---


**Sasuke dan Janjinya pada Naruto**  


Di sisi lain, Sasuke akhirnya tiba di markas Orochimaru. Orochimaru menyambutnya dengan senyum penuh tipu muslihat.  


"Jadi, kau benar-benar meninggalkan Konoha, Sasuke?" tanya Orochimaru.  


Sasuke mengangguk. "Aku sudah membuat keputusan. Aku akan menjadi lebih kuat di bawah bimbinganmu."  


Namun, di dalam hatinya, Sasuke mengingat pertarungan dengan Naruto. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa suatu hari nanti, ia akan mengalahkan Naruto, bukan untuk balas dendam, tetapi untuk membuktikan bahwa ia layak menjadi seorang Uchiha sejati.  


---


**Naruto dan Hinata Berdiskusi**  


Kembali di Konoha, Naruto dan Hinata mendiskusikan kejadian itu di rumah sakit.  


"Naruto-kun, kau tahu ini sangat berbahaya, kan?" tanya Hinata dengan nada khawatir.  


Naruto mengangguk. "Aku tahu, Hinata. Tapi aku percaya pada Sasuke. Dia tidak akan menyerahkan dirinya begitu saja pada Orochimaru. Dia punya rencana."  


Hinata menggenggam tangan Naruto. "Kau harus berhati-hati. Aku tidak ingin kehilanganmu."  


Naruto tersenyum, menenangkan Hinata. "Jangan khawatir, ay... eh, Hinata. Aku tidak akan pergi ke mana-mana."  


Hinata tersipu mendengar Naruto hampir memanggilnya dengan panggilan sayang dari dunia nyata, tetapi ia juga merasa lega bahwa Naruto masih optimis.  


---


**Langkah Selanjutnya**  


Naruto menyadari bahwa waktunya semakin singkat. Akatsuki mulai bergerak, dan ia harus lebih kuat untuk menghadapi ancaman yang semakin besar. Dengan tekad baru, ia memutuskan untuk melanjutkan latihannya dengan Jiraiya.  


Namun, di dalam hatinya, Naruto tahu bahwa pertarungannya dengan Sasuke hanyalah awal dari perjalanan panjang mereka. Ia harus percaya bahwa rencana mereka akan berhasil, dan suatu hari nanti, mereka akan melawan musuh bersama, bukan sebagai lawan, tetapi sebagai sahabat sejati.  


**Bab 14: Dunia yang Berubah**  


Dengan Sasuke yang telah meninggalkan desa, Naruto mulai merasakan dampak dari perubahan yang ia bawa ke dunia ini. Banyak peristiwa yang berjalan berbeda dari cerita asli karena pilihan dan tindakan yang ia lakukan bersama Hinata. Naruto kini menjadi figur yang dihormati di Konoha, bukan hanya karena kekuatannya, tetapi juga karena sikapnya yang cerdas dan strategis.  


Namun, Naruto tahu bahwa perubahan ini membawa konsekuensi. Akatsuki mulai bergerak lebih cepat untuk mengumpulkan JinchÅ«riki, dan beberapa ancaman besar yang seharusnya muncul nanti mulai memperlihatkan diri lebih awal.  


---


### **Akatsuki Bergerak Lebih Cepat**  


Kabarnya, **Deidara** dan **Sasori** telah bergerak untuk menangkap JinchÅ«riki Ekor Satu, **Gaara**, yang kini telah menjadi Kazekage. Berita ini membuat Naruto marah sekaligus khawatir.  


"Kita harus membantu Gaara," kata Naruto dengan tegas dalam pertemuan darurat di Konoha.  


Tsunade, yang kini menjadi Hokage, mengangguk setuju. "Aku akan mengirim Tim 7 bersama Tim Guy. Ini adalah misi tingkat tinggi, jadi berhati-hatilah."  


Hinata, yang baru saja pulang dari latihan intensif dengan Neji, mendengar kabar ini dan memutuskan untuk meminta izin untuk ikut.  


"Tsunade-sama, izinkan aku bergabung. Aku tidak bisa membiarkan Naruto pergi tanpa dukungan," kata Hinata tegas.  


Tsunade menatapnya sejenak, lalu mengangguk. "Baik, Hinata. Tapi kau harus mengikuti perintah pemimpin tim."  


---


### **Misi Menyelamatkan Gaara**  


Naruto, Sakura, Kakashi, Hinata, dan Tim Guy bergerak menuju Desa Suna. Di sepanjang perjalanan, Naruto terlihat lebih tenang dan fokus, tidak seperti dirinya yang asli di cerita awal. Ia memanfaatkan pengetahuannya tentang kekuatan Deidara dan Sasori untuk mempersiapkan strategi.  


"Deidara akan menggunakan teknik ledakannya untuk mengalihkan perhatian kita," kata Naruto. "Tapi kelemahan terbesarnya adalah ketika dia terlalu percaya diri. Kita harus memancing dia untuk lengah."  


"Dan Sasori?" tanya Kakashi.  


"Sasori jauh lebih berbahaya. Tapi jika kita bisa menghancurkan wadah tempat jiwanya berada, kita bisa mengalahkannya," jawab Naruto.  


Hinata memperhatikan Naruto dengan kagum. Ia tahu bahwa Naruto telah berubah begitu banyak, menjadi jauh lebih cerdas dan taktis. Namun, ia juga merasa khawatir bahwa Naruto terlalu banyak memikul beban.  


---


### **Pertempuran di Suna**  


Ketika mereka tiba di Suna, Gaara telah diculik oleh Deidara dan Sasori. Tim 7 dan Tim Guy segera mengejar mereka ke markas Akatsuki.  


**Naruto vs. Deidara**  

Naruto menghadapi Deidara dengan kombinasi Rasengan dan strateginya yang matang. Ia memanfaatkan kecepatan dan pengalamannya untuk membuat Deidara tidak punya waktu merencanakan serangan besar.  


"Naruto, kau benar-benar berbeda dari yang kudengar," kata Deidara sambil tersenyum.  


Naruto hanya tersenyum kecil. "Dan kau tidak tahu siapa yang kau hadapi."  


Dengan bantuan Hinata yang menggunakan Byakugan untuk melacak gerakan Deidara, Naruto berhasil melumpuhkan musuhnya tanpa membiarkan bom terakhirnya meledak.  


**Sakura dan Chiyo vs. Sasori**  

Sementara itu, Sakura dan nenek Chiyo berhasil mengalahkan Sasori dengan bantuan informasi yang diberikan oleh Naruto sebelumnya. Sakura, yang lebih percaya diri karena pelatihan intensifnya dengan Tsunade, menunjukkan kekuatan yang jauh lebih hebat daripada cerita aslinya.  


---


### **Gaara Selamat**  


Berbeda dari cerita aslinya, Naruto berhasil menyelamatkan Gaara sebelum ia kehilangan Shukaku, Bijuu Ekor Satu. Meskipun Akatsuki berhasil melarikan diri, mereka gagal mengambil JinchÅ«riki.  


Gaara, yang terbangun setelah diselamatkan, menatap Naruto dengan penuh rasa terima kasih. "Naruto, kau benar-benar orang yang luar biasa. Aku berutang nyawa padamu."  


Naruto menepuk bahunya. "Kau tidak perlu berterima kasih, Gaara. Kita semua teman di sini."  


---


### **Hinata dan Perasaan Cemburu**  


Dalam perjalanan pulang ke Konoha, Hinata mulai merasa gelisah. Ia melihat banyak gadis di Suna yang terpesona oleh keberanian dan kekuatan Naruto.  


"Naruto-kun, aku akan benar-benar marah kalau kau terlalu ramah dengan gadis lain," kata Hinata saat mereka duduk berdua di dekat api unggun.  


Naruto tertawa kecil. "Hinata, kau tahu aku hanya peduli padamu, kan?"  


Hinata tersipu, tetapi ia tetap memperhatikan Naruto dengan tajam. "Tetap saja, kau harus hati-hati."  


---


### **Naruto dan Hinata Berdiskusi tentang Dunia Nyata**  


Di tengah perjalanan, Naruto dan Hinata kembali berbicara tentang dunia nyata. Mereka mulai mengingat momen sebelum terjebak di dunia ini, tentang bagaimana mereka berdua bercanda bahwa jika ada yang menjadi Naruto, pasti Galih, sementara Feni cocok menjadi Hinata.  


"Aku masih tidak percaya kita benar-benar ada di sini," kata Hinata.  


Naruto mengangguk. "Tapi aku mulai merasa bahwa ini adalah rumah kita sekarang. Dan jika ada cara untuk kembali, aku tidak yakin ingin meninggalkan tempat ini."  


Hinata terdiam sejenak, lalu berkata, "Aku hanya ingin bersamamu, Naruto-kun. Di mana pun itu."  


Naruto tersenyum hangat. "Kalau begitu, kita akan menghadapi apa pun bersama-sama."  


---


### **Dampak pada Dunia**  


Setelah misi penyelamatan Gaara, nama Naruto semakin populer, tidak hanya di Konoha tetapi juga di seluruh dunia ninja. Bahkan Akatsuki mulai menganggap Naruto sebagai ancaman besar.  


Di sisi lain, Sasuke, yang kini berada di bawah Orochimaru, mendengar kabar tentang kemenangan Naruto melawan Deidara. Ia tersenyum kecil, merasa bangga pada sahabatnya, tetapi juga semakin bertekad untuk menjadi lebih kuat.  


"Naruto... tunggu aku. Aku akan kembali lebih kuat," pikir Sasuke.  


Namun, di dalam markas Akatsuki, para pemimpin mulai menyusun rencana baru. Mereka tahu bahwa Naruto Uzumaki bukan lagi sekadar bocah sembarangan.  


"Kita harus bergerak lebih cepat," kata Pain, pemimpin Akatsuki. "Naruto Uzumaki adalah ancaman terbesar bagi tujuan kita."  


Naruto dan Hinata tahu bahwa dunia ini tidak akan berhenti menantang mereka. Tetapi mereka juga tahu bahwa selama mereka bersama, tidak ada yang tidak bisa mereka hadapi.  


**Bab 15: Mengubah Takdir**  


Dengan semua peristiwa yang telah mereka ubah, Naruto dan Hinata merasa semakin terikat dengan dunia ini, tetapi juga merasa ada tanggung jawab besar untuk menyelesaikan semuanya. Setelah misi penyelamatan Gaara, mereka sadar bahwa mereka memiliki kesempatan untuk mengubah nasib banyak orang, bahkan yang tampaknya tak bisa diubah—termasuk nasib **Sasuke** dan **Itachi**.


---


### **Naruto dan Sasuke, Sahabat Sejati**  


Naruto telah menyadari bahwa jika ia ingin mengubah masa depan, ia harus terlebih dahulu menyembuhkan luka batin Sasuke. Berbeda dengan cerita aslinya, Sasuke kini telah menjadi sahabat Naruto. Meskipun ia masih berusaha untuk menjadi lebih kuat, Naruto tahu bahwa persahabatan mereka adalah kunci untuk mencegahnya jatuh lebih dalam ke dalam kegelapan.  


Suatu malam, saat mereka berdua duduk bersama di luar desa Konoha, Naruto memutuskan untuk membuka pembicaraan dengan Sasuke.  


"Sasuke, aku tahu kau ingin kekuatan. Tapi, bukankah ada hal yang lebih penting dari itu?" tanya Naruto, menatap sahabatnya dengan serius.  


Sasuke menatap Naruto sejenak, lalu tersenyum tipis. "Apa maksudmu?"  


"Hubungan keluarga," jawab Naruto dengan mantap. "Aku tahu kau ingin membalas dendam pada Itachi. Tapi aku juga tahu bahwa kau ingin dia menjadi kakakmu lagi. Aku ingin kau berdua mendapatkan kebahagiaan itu."  


Sasuke terdiam. Ia tidak pernah berpikir tentang itu—tentang kebahagiaan bersama kakaknya, bukan hanya rasa dendam. "Itachi... aku memang selalu ingin membunuhnya. Tapi sekarang... aku tidak tahu lagi."  


Naruto mengangguk. "Kau berhak mendapatkan kesempatan itu, Sasuke. Sebelum semuanya terlambat."  


---


### **Itachi, Kakak yang Tersayang**  


Naruto tahu bahwa dia harus mempertemukan Sasuke dengan Itachi lebih awal untuk mengubah takdir mereka. Dengan bantuan Jiraiya dan beberapa informasi yang didapatkan dari berbagai sumber, Naruto menemukan cara untuk mendekati **Itachi Uchiha** sebelum kematian tragisnya.


Dengan bantuan Sasuke yang kini lebih terbuka pada Naruto, mereka akhirnya berhasil menemui Itachi. 


Itachi, meskipun tetap misterius dan penuh rahasia, kali ini membuka hatinya sedikit lebih lebar. Mereka berbicara berdua, dengan Sasuke yang bingung tetapi sedikit merasa lega dapat berbicara dengan kakaknya tanpa kebencian di hatinya.


"Saudaraku," kata Itachi dengan nada lembut. "Aku tidak tahu apakah aku layak untukmu, Sasuke. Tapi aku ingin kau tahu bahwa aku mencintaimu, meskipun itu terlambat."  


Sasuke yang masih bingung, terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Aku juga ingin kita bisa menjadi keluarga, seperti dulu."  


Naruto yang menyaksikan percakapan itu, merasa lega. Ia tahu bahwa ini adalah langkah yang sangat penting dalam mengubah takdir mereka. Setelah beberapa waktu bersama, mereka semua akhirnya menjalani momen kebersamaan yang lebih hangat, jauh dari kemarahan dan kebencian yang dulu ada.


Namun, meskipun kebahagiaan ini ada, takdir berkata lain. Beberapa bulan setelah mereka mulai membangun kembali hubungan mereka, **Itachi** akhirnya jatuh sakit. Penyakit yang selama ini tersembunyi di balik kekuatannya kini mulai merenggutnya.  


Pada akhirnya, Itachi meninggal dengan damai, di samping adiknya yang kini sudah bisa melepaskan rasa benci dalam hatinya. Sasuke menatap kakaknya untuk terakhir kalinya, sambil berbisik, "Terima kasih, Itachi. Aku akan hidup dengan baik."  


Naruto, yang menyaksikan seluruh peristiwa itu, merasa bangga karena ia bisa mengubah sedikit dari takdir buruk yang seharusnya menimpa mereka berdua.


---


### **Misi Penyelamatan Killer Bee**  


Tak lama setelah kejadian itu, berita tentang **Killer Bee**, Jinchūriki Ekor Delapan, yang diculik oleh **Akatsuki**, sampai ke telinga Naruto dan timnya. Tsunade memberikan perintah untuk segera bertindak.


"Kita tidak bisa membiarkan Akatsuki mendapatkan JinchÅ«riki lagi," kata Tsunade dengan serius. "Naruto, Hinata, kalian berdua pergi bersama tim untuk menyelamatkan Killer Bee."  


Naruto dan Hinata, bersama dengan **Aoba**, **Yamato**, dan **Killer Bee**, melakukan perjalanan ke **Iwagakure**. Selama perjalanan, Naruto tidak hanya memfokuskan dirinya pada misi, tetapi juga memikirkan masa depan, terutama hubungannya dengan Hinata.  


Di medan pertempuran, mereka berhasil mengalahkan **Tobi** dan **Zetsu** yang sedang menculik Killer Bee. Naruto, dengan kekuatan Rasengan dan bantuan **Kyuubi**, berhasil melindungi Bee dan menghancurkan sebagian besar pasukan Akatsuki yang mengejarnya.  


Setelah misi penyelamatan berhasil, Naruto dan Hinata kembali ke Konoha dengan kemenangan besar. Mereka dihormati oleh seluruh desa, dan orang-orang mulai bertanya-tanya tentang hubungan mereka yang semakin terlihat erat.  


---


### **Shikamaru Menyadari Hubungan Mereka**  


Shikamaru, yang sejak awal sudah memperhatikan perubahan dalam diri Naruto dan Hinata, mulai merasakan ada sesuatu yang berbeda. Ia tahu bahwa mereka tidak mengungkapkan hubungan mereka secara terbuka, tetapi ia bisa melihat bagaimana mereka saling mendukung dan bekerja sama.  


Suatu hari, setelah misi selesai, Shikamaru mendekati Naruto dan Hinata.  


"Jadi, kapan kalian berdua akan mengakui semuanya?" tanya Shikamaru dengan nada santai, meskipun matanya tajam dan penuh rasa penasaran. "Aku sudah tahu, dan aku rasa kalian juga sudah cukup lama saling melengkapi."  


Naruto tersenyum canggung, sedangkan Hinata hanya menunduk malu. "Kami..." Naruto ragu sejenak, tetapi akhirnya menjawab, "Kami memang sudah merencanakan untuk menikah setelah kita mengalahkan Pain."  


Shikamaru tersenyum tipis. "Baiklah, jika itu yang kalian inginkan. Aku mendukung kalian."  


---


### **Rencana Menikah**  


Setelah misi penyelamatan Killer Bee, Naruto dan Hinata mulai memikirkan masa depan mereka. Mereka tahu bahwa perjuangan mereka belum selesai, karena ancaman Pain dan Akatsuki masih mengintai. Namun, mereka berdua sepakat bahwa setelah semuanya selesai, mereka akan menikah.  


"Setelah kita mengalahkan Pain, kita akan melanjutkan hidup kita bersama," kata Naruto dengan penuh keyakinan. "Aku ingin melindungimu, Hinata, seperti yang sudah aku janjikan."  


Hinata tersenyum lebar, meskipun wajahnya sedikit merah. "Aku juga ingin itu, Naruto-kun."  


Naruto dan Hinata tahu bahwa mereka masih memiliki banyak rintangan untuk dihadapi. Namun, mereka juga tahu bahwa bersama-sama, mereka akan bisa mengatasi semuanya. Mereka bukan hanya sekedar pasangan, tapi sahabat sejati yang saling mendukung dalam setiap langkah.  


Dan di tengah badai yang datang, mereka tahu bahwa cinta mereka akan menjadi kekuatan yang tak terkalahkan.


**Bab 16: Menghadapi Orochimaru dan Kemenangan Terakhir**


Setelah melalui serangkaian pertempuran dan misi berbahaya, Naruto dan Sasuke akhirnya mencapai titik di mana mereka merasa cukup kuat untuk mengakhiri ancaman besar yang telah menghantui mereka selama ini—**Orochimaru**. Berkat latihannya yang intens, kemampuan **Rasengan** yang telah mencapai level baru, dan bantuan dari kekuatan **Kyuubi** yang lebih terkontrol, Naruto sudah jauh lebih kuat dari sebelumnya. Begitu pula dengan Sasuke, yang meskipun sempat dilatih oleh Orochimaru, kini menggunakan kekuatan yang diwariskan oleh kakaknya, **Itachi**, untuk menanggalkan kebencian yang selama ini membelenggunya.


---


### **Persiapan untuk Menghadapi Orochimaru**


Naruto dan Sasuke berdiri di puncak sebuah bukit, memandang ke arah markas **Orochimaru** yang tersembunyi. 


"Sasuke," kata Naruto dengan penuh tekad. "Ini saatnya kita akhiri semua ini. Aku tahu kamu masih punya dendam terhadapnya, tapi kita harus menghentikan pengaruh jahatnya, tidak hanya untuk dirimu, tapi untuk semua orang."


Sasuke menatap Naruto, sedikit ragu namun kemudian mengangguk. "Aku tahu. Itachi sudah pergi, dan aku tidak akan membiarkan Orochimaru menghancurkan lebih banyak kehidupan."  


Mereka berdua lalu menyusun rencana untuk menyerbu markas Orochimaru. Dengan kekuatan yang mereka miliki sekarang, mereka yakin bisa menghadapinya, meskipun mereka tahu akan ada risiko besar.


---


### **Perang Melawan Orochimaru**


Naruto dan Sasuke masuk ke markas Orochimaru dengan cepat, menghadapi pasukan dan perangkap yang sudah dirancang untuk menghalangi siapa pun yang datang. Tapi dengan sinergi mereka yang sempurna, terutama berkat perubahan yang telah mereka alami, mereka berhasil melewati setiap rintangan.


Akhirnya, mereka berhadapan dengan Orochimaru di ruang tengah markasnya yang gelap, dipenuhi dengan jubah hitam yang menandakan kejahatan yang telah lama merasuki tempat itu.


"Orochimaru!" teriak Naruto, suaranya penuh amarah dan kebencian. "Ini akhir dari perjalananmu!"


Orochimaru hanya tertawa jahat. "Oh? Kalian pikir kalian bisa mengalahkanku begitu saja?"  


Namun, sebelum Orochimaru sempat melanjutkan, Sasuke melangkah maju, melepaskan **Chidori** yang sangat kuat, didukung oleh kekuatan **Amaterasu** yang diwariskan oleh Itachi. Naruto, tidak mau ketinggalan, melancarkan serangan **Rasengan** yang lebih besar dan lebih terkontrol dari sebelumnya. Gabungan serangan itu begitu kuat sehingga Orochimaru terhantam keras dan terpojok.


Akhirnya, dengan satu serangan gabungan, mereka berhasil mengalahkan Orochimaru. Kekuatan jahatnya yang telah mengendalikan banyak orang akhirnya hilang, dan Sasuke merasa beban besar di hatinya terangkat.


---


### **Menghadapi Pain dan Melindungi Desa**


Setelah Orochimaru berhasil ditangani, Naruto dan Sasuke kembali ke desa untuk mempersiapkan pertempuran besar berikutnya: melawan **Pain**. Dengan perubahan yang mereka buat terhadap jalannya cerita, mereka tahu bahwa saat invasi Pain dimulai, mereka harus siap.


Mereka melakukan persiapan dengan matang, memperkuat pertahanan desa dan meningkatkan koordinasi antar ninja. **Tsunade** memimpin, dan Naruto serta Sasuke berdiri di barisan depan, siap untuk melindungi desa mereka dari ancaman yang lebih besar.


Saat **Pain** dan pasukannya akhirnya datang, Naruto dan Sasuke bertarung habis-habisan, mengalahkan masing-masing **Pain** yang terpisah dengan menggunakan gabungan kekuatan mereka. Dengan teknik Rasengan yang lebih kuat dan jurus Sasuke yang jauh lebih sempurna berkat warisan dari Itachi, mereka berhasil menghentikan Pain sebelum ia sempat menghancurkan desa.


Setelah pertempuran berakhir, Pain yang sebenarnya, **Nagato**, akhirnya mengungkapkan niatnya yang sebenarnya dan mengakui bahwa Naruto adalah sosok yang dapat membawa perubahan. Naruto berbicara tentang perdamaian dan harapan, menunjukkan kepada Nagato bahwa kekuatan sejati terletak pada ikatan antara orang-orang, bukan pada kekuatan destruktif.


---


### **Kembali ke Desa dan Sambutan Sakura**


Setelah pertempuran selesai dan Pain berhasil dihadapi, Naruto dan Sasuke pulang ke desa, disambut dengan tepuk tangan dan sorak-sorai dari seluruh penduduk Konoha. Namun, ada seseorang yang menunggu lebih dari sekadar sambutan—**Sakura**.


"Sasuke..." Sakura berlari ke arahnya, matanya dipenuhi air mata. "Kau... kau kembali!"


Sasuke yang awalnya canggung dengan kehadiran Sakura, akhirnya tersenyum tipis. "Aku tidak akan pergi lagi, Sakura. Kalian semua penting bagiku."


Sakura terisak, melepaskan kerinduannya yang terpendam selama ini. "Aku sangat khawatir, Sasuke... Kami semua sangat khawatir."  


Sasuke hanya tersenyum dan membalas pelukannya dengan lembut, merasakan kehangatan yang baru dalam hatinya.


---


### **Naruto dan Hinata: Langkah Selanjutnya**


Sementara itu, **Naruto** dan **Hinata** tidak hanya merayakan kemenangan mereka melawan Pain, tetapi juga merenungkan langkah selanjutnya dalam hidup mereka. Dengan rencana pernikahan yang sudah mereka susun, mereka tahu bahwa pertempuran mereka belum berakhir, tetapi mereka siap menghadapi apapun yang datang bersama-sama.


Naruto menyentuh tangan Hinata dan tersenyum. "Hinata, setelah ini, kita akan menikah. Aku ingin kita memulai hidup baru bersama."


Hinata membalas senyum itu, matanya berbinar. "Aku siap, Naruto-kun."


Dengan tekad yang lebih kuat dari sebelumnya, mereka tahu bahwa kedamaian dan kebahagiaan mereka tidak hanya bergantung pada kekuatan fisik, tetapi juga pada ikatan yang mereka bangun bersama. Mereka mengubah takdir dan menemukan kebahagiaan dalam setiap langkah yang mereka ambil.


Dan dengan dunia yang kini lebih damai, Naruto dan Hinata melangkah ke masa depan yang cerah, sambil berjanji untuk selalu melindungi orang-orang yang mereka cintai.


**Bab 17: Mengungkap Mimpi dan Merancang Masa Depan**  


### **Pertemuan Besar di Konoha**  


Naruto dan Hinata berdiri di tengah-tengah aula pertemuan rahasia yang penuh dengan orang-orang yang mereka percayai. **Shikamaru**, **Sakura**, **Sasuke**, **Ino**, **Kiba**, **Choji**, dan beberapa ninja tepercaya lainnya hadir. Bahkan Tsunade dan Jiraiya turut serta, ingin mendengar apa yang dianggap sangat penting oleh Naruto dan Hinata.


"Aku tahu ini akan terdengar aneh," ujar Naruto, wajahnya lebih serius daripada biasanya. "Tapi aku dan Hinata memiliki... mimpi yang luar biasa detail. Mimpi yang bukan hanya tentang desa ini, tapi juga tentang apa yang akan terjadi di masa depan."  


Hinata melanjutkan, suaranya tenang dan penuh keyakinan. "Banyak hal yang terjadi belakangan ini sudah kami lihat sebelumnya dalam mimpi itu. Mulai dari kemunculan Orochimaru, invasi Pain, hingga pertempuran besar lainnya."  


Ruangan menjadi hening. Semua orang menatap mereka dengan tatapan penuh pertanyaan dan keraguan, kecuali Shikamaru, yang sudah lama mencurigai kebenaran ini.


"Aku sudah menyelidiki sejak lama," ujar Shikamaru dengan nada santai namun penuh makna. "Naruto dan Hinata tahu terlalu banyak detail yang bahkan tidak mungkin diketahui oleh ninja paling hebat sekalipun. Kalau ini memang tentang mimpi, maka aku yakin ada sesuatu yang lebih besar yang harus kita tangani bersama."  


Sasuke menyilangkan tangan, tatapannya tajam namun penuh minat. "Apa yang sebenarnya kalian ketahui? Dan bagaimana ini bisa membantu kita?"  


Naruto menarik napas panjang, memutuskan untuk membeberkan semuanya. Ia berbicara tentang **Tobi**, yang sebenarnya adalah **Obito Uchiha**, seseorang yang dimanipulasi oleh kekuatan yang jauh lebih besar, yaitu **Kaguya Otsutsuki**. Ia menjelaskan bahwa perang dunia ninja yang akan datang bukan sekadar perang antar negara, tetapi rencana besar untuk menghidupkan kembali Kaguya melalui **Rencana Mata Bulan**.  


"Mimpi itu memberi kami peringatan," Naruto melanjutkan, suaranya bergetar dengan emosi. "Tapi sekarang mimpi itu menjadi kenyataan. Kita harus menghentikan perang ini sebelum segalanya terlambat. Dan aku tahu cara untuk mengubah jalannya."  


---


### **Mengubah Strategi Perang**  


Naruto dan Hinata, dengan bantuan Shikamaru, mulai menyusun strategi. Sasuke setuju untuk tetap bekerja di balik layar, menyusup ke informasi musuh untuk memastikan mereka selalu selangkah lebih maju. Tsunade memberikan otoritas penuh kepada Naruto untuk memimpin rencana ini, menyadari bahwa dia telah membuktikan dirinya sebagai ninja yang bijaksana dan penuh tanggung jawab.  


"Jika kita bisa menyadarkan Tobi, kita bisa menghentikan perang besar sebelum benar-benar dimulai," kata Naruto yakin.  


Namun, Hinata menambahkan dengan lembut, "Tapi itu hanya langkah pertama. Kaguya masih menjadi ancaman, dan kita perlu semua kekuatan untuk menghentikannya. Semua dari kita harus bersiap untuk menghadapi musuh terbesar."  


---


### **Pengumuman Besar Naruto dan Hinata**  


Saat pertemuan mulai mencapai akhirnya, Naruto memandang Hinata, yang memberinya senyuman hangat. Dia tahu bahwa waktu ini adalah saat yang tepat untuk memberitahukan sesuatu yang penting.  


"Sebelum kita bubar, aku punya satu pengumuman lagi," kata Naruto, suaranya lebih ringan namun penuh keyakinan. Semua mata tertuju padanya.  


"Aku dan Hinata... Kami memutuskan untuk menikah."  


Ruangan menjadi penuh dengan keterkejutan, tapi segera berubah menjadi kegembiraan. Sakura tersenyum lebar, bertepuk tangan pertama kali. "Akhirnya! Selamat, kalian berdua!"  


Shikamaru hanya menghela napas, namun tersenyum tipis. "Ya, aku sudah menduga ini akan terjadi."  


Kiba tampak sedikit cemberut tapi akhirnya tertawa, "Naruto, kalau kamu menyakitinya, aku sendiri yang akan datang menghajarmu!"  


Naruto menggaruk kepalanya dengan canggung. "Aku nggak bakal menyakitinya, Kiba. Aku berjanji."  


Hinata, yang wajahnya sedikit memerah, menatap Naruto dengan penuh kasih. "Kami berharap pernikahan ini juga menjadi simbol bahwa kita semua bisa menghadapi apa pun, bersama-sama."  


---


### **Langkah Berikutnya: Menyadarkan Tobi**  


Setelah pengumuman, suasana sedikit lebih santai, tetapi fokus mereka tetap pada rencana besar berikutnya. Dengan semua informasi yang telah mereka kumpulkan, mereka mulai mencari cara untuk mendekati Tobi dan menyadarkannya tentang kenyataan bahwa dia hanyalah alat dari rencana yang lebih besar.  


Naruto tahu ini tidak akan mudah. Tapi dengan dukungan teman-temannya, serta cinta dan keyakinan dari Hinata, ia merasa bahwa mereka bisa mengubah masa depan.  


Dan di balik itu semua, Naruto dan Hinata kini memiliki tujuan baru: menciptakan dunia yang damai, tempat mereka bisa membangun keluarga tanpa ancaman perang atau kebencian.  


"Langkah pertama adalah Tobi," kata Naruto. "Dan setelah itu, kita akan menghadapi ancaman apa pun yang datang."  


Semua orang mengangguk. Mereka tahu bahwa dengan persatuan dan strategi yang matang, tidak ada yang tidak mungkin. Peperangan besar mungkin sudah di depan mata, tetapi mereka tidak akan mundur.  


**Bab 18: Menghadapi Tobi dan Zetsu Hitam**  


### **Pencarian Tobi**  


Naruto, Hinata, Sasuke, dan Shikamaru, bersama dengan tim kecil ninja tepercaya, berangkat untuk menemui **Tobi**. Mereka tahu bahwa Tobi adalah kunci utama dalam perang ini. Jika mereka bisa menyadarkannya, maka ancaman besar seperti perang dunia ninja dan kebangkitan **Kaguya** bisa dicegah.  


Shikamaru menyusun rencana matang untuk mendekati Tobi tanpa langsung memprovokasinya. **Naruto**, dengan karismanya, bertugas untuk berbicara dan meyakinkannya. Sementara itu, Sasuke dan Hinata bersiap untuk melindungi tim dari ancaman yang mungkin datang dari **Zetsu Hitam**, sosok misterius yang diyakini sebagai dalang di balik semua manipulasi ini.  


"Ini akan menjadi misi yang sulit," kata Sasuke, tatapan matanya tajam. "Tobi bukan orang yang mudah diyakinkan, apalagi dengan Zetsu Hitam di sisinya."  


Naruto meninju telapak tangannya, menunjukkan tekadnya. "Aku yakin bisa melakukannya. Kalau dia benar-benar Obito, maka ada kebaikan di dalam dirinya. Kita hanya perlu mencarinya."  


---


### **Pertemuan dengan Tobi**  


Tim akhirnya menemukan Tobi di sebuah tempat terpencil yang dipenuhi kabut tebal. Sosok berjubah Akatsuki itu berdiri di tengah, topengnya memancarkan aura misterius.  


"Naruto Uzumaki," kata Tobi dengan suara dalam. "Kau benar-benar nekat datang ke sini. Apa yang kau inginkan?"  


Naruto melangkah maju, menatap langsung ke arah topeng itu. "Aku ingin berbicara denganmu, Obito. Aku tahu siapa dirimu sebenarnya, dan aku tahu kenapa kau melakukan semua ini. Tapi kau salah. Jalan yang kau pilih hanya membawa kehancuran."  


Tobi terdiam sejenak sebelum tertawa kecil. "Kau pikir kau tahu segalanya? Dunia ini sudah rusak. Tidak ada yang bisa mengubahnya."  


Hinata, yang berdiri di sisi Naruto, ikut angkat bicara. "Dunia tidak perlu dihancurkan untuk diperbaiki. Kau tidak sendirian, Obito. Kau punya kesempatan untuk membuat perbedaan tanpa melukai siapa pun."  


Naruto melanjutkan, "Kakashi masih mengingatmu. Dia selalu membawa rasa bersalah atas apa yang terjadi padamu dan Rin. Tapi ini bukan yang Rin inginkan, kan?"  


---


### **Kemunculan Zetsu Hitam**  


Saat suasana mulai memanas, sebuah suara menyeramkan bergema dari bayangan di sekitar mereka. **Zetsu Hitam** muncul, merayap keluar dari tanah di belakang Tobi.  


"Jangan dengarkan mereka, Obito," kata Zetsu Hitam dengan suara dingin. "Mereka hanya mencoba menghentikan rencana besar kita. Kau tahu bahwa mereka tidak mengerti penderitaanmu."  


Tobi tampak ragu, dan Zetsu Hitam menggunakan momen itu untuk memanipulasinya lebih jauh. Namun, sebelum Zetsu bisa melancarkan serangan, Sasuke melompat ke depan dengan **Chidori** yang berkilauan.  


"Kalau kau musuh yang sebenarnya, aku akan menghadapimu sekarang," kata Sasuke, matanya memancarkan kemarahan.  


Pertarungan sengit pun dimulai. Zetsu Hitam menggunakan kemampuan manipulasi tubuhnya untuk melawan Sasuke, Hinata, dan Shikamaru, sementara Naruto terus mencoba berbicara dengan Tobi.  


---


### **Membebaskan Tobi dari Manipulasi**  


Saat Sasuke dan Hinata bertarung melawan Zetsu Hitam, Naruto akhirnya berhasil mendekati Tobi secara emosional.  


"Obito, kau pernah bilang bahwa kau ingin menciptakan dunia di mana tidak ada yang perlu menderita lagi. Tapi cara yang kau pilih hanya menambah penderitaan," kata Naruto dengan suara penuh emosi. "Aku juga kehilangan banyak orang yang aku sayangi. Tapi aku tidak menyerah pada dunia ini, karena aku percaya bahwa kita bisa membuatnya lebih baik bersama-sama."  


Obito, yang awalnya keras kepala, mulai menunjukkan tanda-tanda keraguan. Ingatan tentang Rin dan masa lalunya dengan Kakashi perlahan-lahan muncul kembali.  


Namun, Zetsu Hitam menyadari perubahan ini dan mencoba mengalihkan perhatian Tobi. "Obito, jangan dengarkan dia! Mereka hanya ingin menghancurkanmu!"  


Naruto melompat ke arah Tobi, menempatkan tangannya di bahu lelaki itu. "Obito, kau punya pilihan. Jangan biarkan dirimu dimanipulasi lagi. Kau lebih baik dari ini."  


Akhirnya, Obito melepaskan topengnya, menunjukkan wajahnya yang penuh luka dan rasa bersalah. Dia menatap Naruto dengan mata yang penuh kebingungan.  


"Apa... yang harus aku lakukan?" tanya Obito, suaranya bergetar.  


"Mulailah dengan menghentikan Zetsu Hitam," kata Naruto. "Kita bisa bekerja sama untuk menghentikan perang ini."  


---


### **Mengalahkan Zetsu Hitam**  


Dengan bantuan Obito, tim akhirnya berhasil mengalahkan Zetsu Hitam. Sasuke dan Hinata melancarkan serangan terakhir, sementara Shikamaru menggunakan strateginya untuk menjebak Zetsu. Serangan gabungan itu membuat Zetsu Hitam hancur, meskipun mereka tahu bahwa ancaman Kaguya masih ada.  


Obito berdiri bersama mereka, tampak lebih tenang meskipun masih diliputi rasa bersalah. "Aku akan membantu kalian menghentikan perang ini. Tapi aku tidak tahu apakah aku bisa dimaafkan."  


Naruto menepuk punggungnya dengan senyuman. "Kita semua punya masa lalu, Obito. Tapi yang penting adalah apa yang kita lakukan mulai sekarang."  


---


### **Menuju Perang Dunia Ninja**  


Dengan Tobi di pihak mereka, Naruto dan teman-temannya tahu bahwa mereka memiliki peluang lebih besar untuk menghentikan perang dunia ninja. Namun, mereka juga tahu bahwa masih ada tantangan besar di depan mereka, terutama ancaman kebangkitan **Kaguya Otsutsuki**.  


Sebelum mereka berangkat kembali ke desa, Hinata mendekati Naruto dan menggenggam tangannya. "Kita sudah membuat perubahan besar. Aku yakin kita bisa mengubah segalanya, Naruto-kun."  


Naruto menatap Hinata dengan senyuman hangat. "Aku juga yakin, Hinata. Bersamamu, aku merasa kita bisa menghadapi apa pun."  


Dengan semangat baru dan tekad yang kuat, mereka bersiap untuk menghadapi babak berikutnya dalam perjalanan mereka: **Perang Dunia Ninja**.


**Bab 19: Menumbangkan Akatsuki dan Munculnya Kaguya**  


### **Menghadapi Akatsuki yang Tersisa**  


Setelah Tobi bergabung dengan pihak Naruto, ancaman **Akatsuki** berkurang secara signifikan, tetapi beberapa anggota yang tersisa masih menjadi ancaman besar. **Kisame**, **Deidara**, dan **Zetsu Putih** terus melancarkan serangan, mencoba mengumpulkan chakra untuk memulai rencana besar mereka.  


Naruto, Hinata, Sasuke, dan Obito memimpin pasukan aliansi ninja untuk mengalahkan mereka satu per satu.  


- **Kisame** menyerang menggunakan kekuatan Samehada, tetapi Sasuke dengan **Amaterasu** berhasil menghancurkan senjata legendaris itu. Dalam pertarungan terakhir, Kisame memilih bunuh diri untuk melindungi rahasia Akatsuki.  

- **Deidara**, yang dikenal dengan ledakan seninya, mencoba melancarkan serangan mematikan menggunakan teknik C4. Namun, Naruto menggunakan **Sage Mode** untuk mendeteksi mikroledakan itu dan berhasil melumpuhkan Deidara tanpa membunuhnya, memilih untuk menyerahkan musuh itu kepada aliansi ninja.  

- **Zetsu Putih**, dengan jumlahnya yang masif, dihancurkan melalui serangan kombinasi dari Naruto, Hinata, dan Shikamaru. Mereka menggunakan taktik yang dirancang untuk memotong regenerasi Zetsu.  


Setelah Akatsuki melemah, pasukan ninja mulai fokus pada ancaman sebenarnya: **Kaguya Otsutsuki**.  


---


### **Kemunculan Madara dan Transformasi**  


**Madara Uchiha**, yang dihidupkan kembali melalui Edo Tensei, muncul sebagai musuh berikutnya. Meskipun aliansi ninja bekerja sama untuk melawannya, kekuatannya sebagai pengguna Rinnegan dan pemilik Susanoo sempurna hampir tak tertandingi.  


Naruto dan Sasuke, dengan kekuatan baru mereka, bertarung habis-habisan melawan Madara. Dalam pertarungan epik ini:  


- Sasuke memanfaatkan **Mangekyo Sharingan** dan kekuatan yang diwariskan Itachi untuk menahan Madara.  

- Naruto menggunakan kombinasi **Mode Bijuu** dan **Sage Mode** untuk menghancurkan Susanoo milik Madara.  

- Hinata memberikan dukungan dengan Byakugan, memimpin ninja medis untuk menjaga pasukan tetap bertahan.  


Namun, ketika mereka hampir mengalahkan Madara, **Zetsu Hitam**, yang diyakini telah dihancurkan sebelumnya, muncul kembali. Zetsu Hitam mengkhianati Madara dan menggunakannya sebagai wadah untuk membangkitkan **Kaguya Otsutsuki**.  


---


### **Kaguya Otsutsuki Bangkit**  


Dengan kekuatan gabungan dari chakra Bijuu, **Kaguya** muncul sebagai ancaman terbesar yang pernah ada. Ruang di sekitar mereka berubah menjadi dimensi yang berbeda, menandai awal pertarungan terakhir.  


Kaguya, dewi kuno dengan kekuatan tak terbatas, memiliki tujuan untuk menguasai semua chakra di dunia. Kehebatannya melampaui semua musuh yang pernah dihadapi Naruto dan teman-temannya.  


"Aku tidak bisa percaya ini," kata Hinata sambil memandangi dimensi yang aneh. "Dia... jauh lebih kuat daripada yang kita bayangkan."  


Naruto menggenggam tinjunya. "Kita bisa mengalahkannya. Aku yakin kita bisa."  


---


### **Rencana Mengalahkan Kaguya**  


Sebelum pertempuran dimulai, Naruto dan Hinata mengingat detail cerita yang mereka ketahui tentang Kaguya.  


"Dia hanya bisa dikalahkan jika disegel," kata Naruto sambil melihat ke arah Sasuke. "Kita membutuhkan **Segel Yin dan Yang**—yang diwariskan Hagoromo kepada kita."  


Sasuke mengangguk. "Tapi dia tidak akan membiarkan kita mendekat."  


Obito, yang telah bergabung dalam misi ini, menawarkan bantuan terakhirnya. "Aku bisa membuka portal ke dimensi lain. Gunakan kesempatan itu untuk menyerangnya."  


---


### **Pertarungan Melawan Kaguya**  


Pertarungan berlangsung di berbagai dimensi, mulai dari dunia lava hingga dimensi es. Setiap dimensi menghadirkan tantangan unik, tetapi tim bekerja sama untuk melawan Kaguya.  


1. **Naruto** menggunakan bayangan kloning dan Rasenshuriken untuk menyerang Kaguya dari berbagai arah.  

2. **Hinata**, dengan Byakugan-nya, membantu mendeteksi kelemahan di chakra Kaguya.  

3. **Sasuke** memanfaatkan teleportasi Rinnegan untuk menyerang Kaguya secara langsung.  

4. **Shikamaru** memimpin pasukan kecil ninja yang memberikan dukungan dari jarak jauh.  


Namun, Kaguya terlalu kuat. Dia hampir menyerap chakra Naruto dan Sasuke, tetapi **Obito** mengorbankan dirinya untuk melindungi mereka.  


"Ini saatnya aku menebus kesalahan," kata Obito dengan senyuman kecil. "Hentikan dia untuk selamanya."  


Pengorbanan Obito memberi Naruto dan Sasuke waktu untuk menggunakan segel Yin dan Yang mereka. Dengan bantuan chakra dari seluruh ninja di aliansi, mereka berhasil menyegel Kaguya kembali ke dalam **Bulan**.  


---


### **Kemenangan dan Keheningan**  


Setelah Kaguya disegel, semua ninja di medan perang merasakan kelegaan yang luar biasa. Naruto dan Sasuke berdiri berdampingan, menatap bulan di langit yang cerah.  


"Semua ini sudah berakhir," kata Naruto dengan senyuman lelah. "Kita berhasil."  


Sasuke menatap Naruto. "Aku tidak percaya kita melakukannya bersama. Tapi ya... ini akhirnya."  


Hinata berlari menghampiri Naruto, matanya berkaca-kaca. "Naruto-kun... kau luar biasa."  


Naruto tersenyum lemah dan menggenggam tangan Hinata. "Ini bukan hanya aku. Kita semua melakukannya bersama."  


---


### **Melangkah Menuju Masa Depan**  


Dengan ancaman Akatsuki dan Kaguya yang telah berakhir, dunia ninja akhirnya bisa beristirahat. Naruto dan Hinata memutuskan untuk melanjutkan rencana mereka menikah, membawa harapan baru bagi desa dan seluruh dunia.  


Namun, di balik kedamaian itu, mereka tahu bahwa masih ada tugas besar menanti: menjaga dunia tetap damai dan memastikan bahwa sejarah kelam seperti ini tidak terulang kembali.  


**Bab 20: Akhir yang Baru**


Pernikahan Naruto dan Hinata berlangsung penuh kebahagiaan. Seluruh desa Konoha hadir untuk merayakan momen yang telah lama dinantikan. Dari teman-teman sekelas Naruto hingga para kage, semuanya memberikan ucapan selamat. Sakura menangis haru, Shikamaru memberikan senyuman khasnya yang penuh kebijaksanaan, dan Kakashi dengan senyum di balik masker, merasa bangga atas pencapaian murid-muridnya.


Di tengah kebahagiaan ini, Sasuke yang baru kembali ke desa, mendekati Naruto. Setelah beberapa saat diam, ia berkata dengan nada serius, "Suatu saat nanti, aku akan berduel denganmu. Aku harus membuktikan bahwa kekuatanku sudah cukup untuk mengalahkanmu."


Naruto tersenyum, sedikit terkejut dengan pernyataan Sasuke. "Kita akan lihat nanti, Sasuke"


Galih yang kini menghidupkan sosok Naruto merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Sasuke dan Naruto, dua sahabat yang telah melewati begitu banyak hal, akhirnya akan bertemu dalam pertarungan yang tak terhindarkan. Dalam cerita asli, pertarungan mereka adalah klimaks yang menentukan banyak hal, dan Galih tahu bahwa itu adalah akhir dari perjalanan mereka berdua. Sesuatu dalam hatinya bertanya-tanya apa yang akan terjadi setelah itu—apakah mereka akan kehilangan lengan mereka seperti yang terjadi dalam cerita, atau apakah ada cara lain untuk mengakhiri pertempuran mereka.


Pernikahan itu, meskipun luar biasa, menyadarkan Galih dan Feni bahwa perubahan yang mereka buat akan segera mendekati titik akhir. 

---


### **Malam Pertama Mereka**


Malam tiba, dan suasana kamar pengantin itu terasa tenang. Naruto dan Hinata, kini lebih dekat dari sebelumnya, berbaring bersama di tempat tidur yang nyaman. Mereka saling menatap, merasa seolah-olah dunia di luar sana tak lagi ada.


"Ini terasa... aneh," kata Naruto dengan suara lembut, menggenggam tangan Hinata. "Kita sudah mengubah begitu banyak hal, Ayank. Dunia ini terasa sangat berbeda sekarang."


Hinata tersenyum lembut, matanya berbinar dengan kebahagiaan. "Kita berhasil mengubahnya, Naruto-kun. Kita bersama, dan itu yang penting."


Mereka berdua mulai membicarakan banyak hal, termasuk kenangan-kenangan yang telah mereka ubah, dan segala kemungkinan yang ada setelah cerita ini berakhir. "Apakah kamu merasa... seperti aku, Ayank?" tanya Naruto, sedikit ragu.


"Ya," jawab Hinata, "Aku merasa seperti kita sudah menjalani hidup yang panjang sekali. Rasanya seperti mimpi."


Mereka tertawa, tetapi ada juga sedikit keheningan yang datang. Sesuatu yang tak terucapkan, namun dirasakan oleh keduanya—waktu mereka di dunia ini semakin terbatas.


"Jika kita kembali ke dunia nyata," kata Naruto, "apakah kita masih bisa bersama seperti ini?"


Hinata hanya tersenyum, mengeratkan pelukannya. "Aku tidak tahu, Naruto-kun. Tapi kita bisa berharap, bukan?"


Mereka berbaring dalam keheningan, meresapi setiap detik yang masih tersisa. Akhirnya, rasa lelah membawa mereka ke dalam tidur yang panjang, berbaring berdampingan di dunia yang telah mereka ubah, berharap dapat menemukan ketenangan di antara ketidakpastian.


---


### **Bangun Pagi**


Ketika mata mereka terbuka, dunia yang mereka kenal kini terasa berbeda. Mereka tidak lagi berada di Konoha. Mereka berdua terbangun di kamar tidur yang biasa mereka huni di dunia nyata.  


"Ayank..." Galih berbisik, masih merasa bingung. "Apakah... hanya aku yang bermimpi?"


Feni, yang kini kembali menjadi dirinya sendiri, mendongak, mata yang baru saja terbangun itu menatap Galih dengan lembut. "Aku bermimpi masuk ke dunia Naruto, yank... sebagai Hinata."


Keduanya terdiam sejenak, merenung tentang perjalanan yang baru saja mereka alami, yang terasa seperti mimpi yang sangat panjang. Tak ada penjelasan pasti tentang apa yang telah mereka alami, tetapi satu hal yang mereka tahu adalah, pengalaman itu membawa mereka lebih dekat satu sama lain—dan mereka berdua tahu, apa pun yang terjadi, mereka akan selalu bersama.


Cerita tentang Naruto dan Hinata mungkin telah berakhir, tetapi kehidupan mereka yang baru, di dunia nyata, baru saja dimulai.


**Tamat.**